Upaya Perdana Menteri Kamboja Hun Sen agar Myanmar kembali diterima Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah memperkuat perpecahan dalam kelompok politik dan ekonomi itu, antara pemerintah-pemerintah daratan yang otoriter dan negara-negara maritim (kepulauan) yang demokratis, kata para analis.
Mereka berpendapat perbedaan-perbedaan itu bisa membayangi Retret Menteri-Menteri Luar Negeri di Siem Reap pekan ini, ketika 10 anggota ASEAN diperkirakan akan menghilangkan perbedaan mereka dan menetapkan agenda untuk tahun depan. Kamboja memegang jabatan bergilir ketua ASEAN.
Isu-isu mulai dari Laut Cina Selatan yang disengketakan hingga Quad – aliansi Barat untuk menahan ekspansionisme China – menjadi agenda utama, di samping pemulihan ekonomi pascapandemi, diterimanya Timor Timur sebagai anggota, dan diakhirinya kekerasan pascakudeta di Myanmar.
Namun, menurut analis, perpecahan yang ada dan meletus dalam pembersihan etnis dan dugaan genosida oleh militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya pada 2017 telah melebar sejak kudeta 1 Februari 2021 dan menjadi jelas sejak lawatan Hun Sen ke Naypyidaw.
Daratan Asia Tenggara didominasi penganut Budha dan dikuasai atau sangat dipengaruhi militer. Sedangkan semenanjung Melayu dan ribuan pulau yang membentang di seluruh Indonesia dan Filipina umumnya demokratis, menganut Islam atau Kristen.
Menurut analis, telah terbentuk troika yang terdiri dari Indonesia, Malaysia dan Brunei. Ketiganya sama-sama bersimpati agama dengan Muslim Rohingya dan menentang junta Myanmar masuk ASEAN setelah melarangnya menghadiri KTT ASEAN sebagai tanggapan atas kudeta.
ASEAN dibentuk pada 1967, awalnya sebagai benteng melawan komunisme di tengah Perang Vietnam. ASEAN kemudian berkembang menjadi blok perdagangan. Dalam puluhan tahun ini, kebijakannya untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri tetangga memungkinkannya menunjukkan solidaritas. [ka/lt]