Setelah menyelenggarakan parade Hari Bastille yang menakjubkan dan jamuan makan malam di Menara Eiffel yang dilengkapi pemandangan indah Paris, Presiden Emmanuel Macron kemungkinan akan disuguhi hal sama ketika datang ke Washington Senin (23/4) ini, untuk kunjungan kenegaraan pertama selama masa kepresidenan Trump.
Tetapi selain makan malam di Mount Vernon yang bersejarah itu, dan peluang untuk berpidato dihadapan Kongres, kedua pemimpin dihadapkan pada perbedaan trans-Atlantik yang serius. Lawatan tiga hari Macron ke Amerika akan menguji reputasi dirinya sebagai penghubung Trump ke pemimpin-pemimpin Eropa lainnya dan menghasilkan sesuatu yang nyata untuk Perancis dan Eropa.
“Kalau dia memberi kesan dia terlalu dekat dengan Washington, dan khususnya dengan Trump, ini bisa jadi bumerang dalam politik domestik Perancis,” kata Alexandra de Hoop Scheffer, kepala kantor di Paris dari Dana Marshall Amerika Serikat. “Khususnya kalau kepentingan Perancis dan Eropa terancam oleh keputusan Presiden Trump.”
Perdagangan, Iran dan Suriah merupakan isu-isu utama pembicaraan dimana kedua pemimpin itu tidak sefaham. Pembicaraan juga akan dipusatkan pada kerjasama keamanan Perancis Amerika.
Secara lebih luas, lawatan Macron akan menggaris-bawahi bentrokan antara dua visi, kata analis. “Di satu sisi, ada strategi penarikan diri, di sisi lainnya strategi yang membuka diri,” kata Philippe Moreau Defarges, seorang mantan diplomat Perancis dan pakar hubungan internasional.
Philippe membandingkan Trump dan Macron. “Tetapi ketidaksepahaman mereka cukup jelas, dan kejelasan ini justru membantu mereka untuk mengatasinya.”
Kurang dari setahun yang lalu, hanya sedikit orang yang membayangkan bahwa Presiden Perancis paling muda dan Presiden Amerika yang tertua bisa punya kedekatan seperti itu. Mulai dari kebiasaan kerja dan hobi masing-masing, seni versus golf, Macron usia 40 tahun dan Trump usia 71 tahun tampak saling berlawanan. Dan memang dalam temu muka pertama, terlihat foto-foto Macron melangkahi Trump untuk menyambut Kanselir Jerman Angela Merkel, kemudian jabat tangan yang berubah jadi adu kekuatan, waktu itu tampak tidak menjanjikan.
Tetapi keduanya juga orang dari luar gelanggang politik, dimana kenaikan masing-masing dicirikan dengan penggulingan status-quo. Serta lawatan Trump ke Paris pada Juli lalu membantu memperbaiki hubungan mereka.
“Mereka sering berbicara, dan jelas Macron berupaya untuk mempertahankan Amerika tetap di dalam lingkaran negara dan pemimpin persekutuan, dan itu melibatkan bicara tegas dan sering kepada Donald Trump,” kata ahli sejarah Perancis dan pakar Amerika Nicole Bacharan. “Dan pada sisi Donald Trump, dia tampaknya senang dengan hubungan antar lelaki yang dominan alfa itu. Tampilan muda dan popularitas dari Macron tampaknya juga disukai oleh Trump.” [jm]