Dalam waktu dekat Indonesia akan menggelar dua pesta demokrasi, yakni pemilihan kepala daerah serentak pada Juni 2018 dan pemilihan anggota legislatif yang pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan presiden pada April 2019. Dua pesta demokrasi itu meningkatkan suhu politik di tanah air karena pendukung masing-masing calon telah mulai berkampanye guna memenangkan calon mereka. Kampanye tidak saja dilakukan di media konvensional – cetak dan elektronik – tetapi juga media sosial.
Menyikapi memanasnya suhu politik menjelang pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan presiden ; Jaringan Ulama Perempuan Indonesia menyerukan semua pihak untuk sama-sama menjaga keutuhan bangsa dan negara. Jaringan Ulama Perempuan Indnesia dibentuk dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama, yang dilangsungkan pada 25-27 April 2017 di Pondok pesantren Kebon Jambu al-Islami, Cirebon, Jawa Barat.
Pemimpin Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadis – Badriyah Fayumi – dalam jumpa pers di Masjid Istiqlal hari Kamis (1/3) menegaskan bahwa Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang sangat kuat, dan sedianya dimanfaatkan untuk meredam potensi tindakan yang memecah keutuhan bangsa.
Baca juga: Jokowi Ajak Ulama Jaga Persatuan Bangsa di Tahun Politik
Seruan moral dari Jaringan Ulama Perempuan Indonesia ini dibacakan secara bergantian oleh Hindun Anisah dari Pesantren Hasyim Asyari di Jepara, Jawa Tengah.
"Para kontestan pilkada, pileg, dan pilpres, tim sukses, para pendukung dan simpatisan agar menempatkan persaudaraan dan persatuan bangsa di atas kepentingan politik pragmatis dan tidak menyalahgunakan agama bagi tujuan primordial dan sesaat," harap Hindun.
Hindun menambahkan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia juga menyerukan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum agar menegakkan aturan dan hukum yang tegas, adil, dan transparan pada siapapun yang melakukan tindakan kejahatan dan segala upaya pemecah belah persatuan bangsa. Seluruh umat beragam dan anak bangsa juga didorong untuk merawat tradisi dan kearifan lokal yang terbukti menjadi perekat persaudaraan, dengan membangun ruang pertemuan antar organisasi dan perkumpulan dari beragam latar belakang secara intensif.
Tetapi apakah suara ulama perempuan ini cukup didengar? Dr. Nina Nurmila dari Universitas Islam Sunan Gunung Djati, Bandung, mengakui jarang ada perempuan mau disebut sebagai ulama karena selama ini julukan ulama dikonotasikan dengan laki-laki.
"Tapi kadang-kadang pengakuan dari masyarakat seolah-olah ulama itu harus laki-laki. Jadi bisa dikatakan ada diskriminasi pengakuan keulamaan perempuan dibanding laki-laki, di mana masih cara pandang masyarakat itu melihat ulama itu jenis kelaminnya laki-laki, sehingga kiprah-kiprahnya lebih terbatas dibanding laki-laki," cetus Nina.
Meskipun demikian Dr Nur Rofiah, dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta mengatakan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia tetap akan mendorong kaum hawa di Indonesia aktif di berbagai sendi kehidupan, baik di jalur kultural atau struktural. Peran perempuan dinilai sangat penting untuk mempertahankan perspektif perempuan dalam beragam kearifan masyarakat dan kebijakan negara.
"Sehingga apa yang arif menurut masyarakat, bijak menurut negara, dan maslahat atau baik menurut agama, juga menjangkau kondisi khusus perempuan, tidak hanya kondisi perempuan yang sama dengan laki-laki," kata Nur Rofiah.
Baca juga: 195 Tokoh Luncurkan Seruan Moral Kebhinnekaan
Nur Rofiah menambahkan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia tidak akan terjun langsung ke dalam politik praktis karena ini merupakan gerakan kultural yang tidak berafiliasi kepada partai politik tertentu.
Badriyah Fayumi mengatakan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia ingin menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang mengajak pada persatuan, perdamaian, dan klarifikasi; secara damai, santun dan toleran. [fw/em]