Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menghadiri latihan penanggulangan bencana yang disiarkan televisi pada Jumat (1/9), saat negara itu memperingati seratus tahun Gempa Kanto yang terjadi pada 1923 dan menewaskan lebih dari 100.000 orang.
Gempa bumi berkekuatan 7,9 magnitudo yang melanda daerah Sagamihara di barat daya Tokyo pada 1 September 1923, tepat sebelum tengah hari, memicu kebakaran besar di wilayah tersebut, dan menyebabkan sebagian besar korban tewas dalam kebakaran tersebut.
Kebakaran itu menghanguskan hampir 300.000 rumah berbahan kertas dan kayu di Jepang.
Setelah kejadian tersebut, ribuan warga etnis Korea terbunuh sewaktu polisi dan beberapa pihak lain menanggapi rumor tak berdasar bahwa warga Korea meracuni sumur-sumur. Amukan ini tidak pernah sepenuhnya diakui oleh pemerintah.
Para pejabat Jepang khawatir gempa dahsyat lainnya akan terjadi lagi.
Latihan penangulangan bencana pada Jumat menyimulasikan dampak gempa fiksi berkekuatan 7,3 magnitudo di pusat kota Tokyo pada pukul 07.00 waktu setempat. Kishida dan para menteri kabinetnya, mengenakan seragam biru muda yang serasi, berjalan ke kantor perdana menteri untuk menghadiri pertemuan tanggap darurat guna membahas langkah-langkah awal menanggulangi daerah Sagamihara yang seolah-olah digambarkan terdampak paling parah.
Jepang, yang terletak di “cincin api” Pasifik, adalah salah satu negara yang paling rawan gempa di dunia. Gempa berkekuatan 9,0 magnitudo pada tanggal 11 Maret 2011, di lepas pantai timur laut Jepang, memicu tsunami besar yang menewaskan lebih dari 18.000 dan memicu bencana nuklir.
Pada hari Jumat, latihan penangulangan gempa bumi juga dilakukan di kota-kota lain dan sekolah-sekolah di seluruh penjuru negara itu. Di sekolah-sekolah dasar, anak-anak berjongkok di bawah meja untuk melindungi kepala mereka dari benda jatuh.
Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno mengatakan kepada wartawan bahwa tanggal 1 September tahun ini menandai seratus tahun Gempa Kanto. Gempa itu mengingatkan banyak pihak untuk membangun struktur yang lebih tahan terhadap gempa dan kebakaran.
“Kami tidak akan membiarkan kenangan akan Gempa Besar Kanto berlalu begitu saja dan (akan) melakukan yang terbaik untuk mengambil tindakan komprehensif dalam menghadapi gempa lain,” kata Matsuno.
Gempa Kanto terjadi 13 tahun setelah pemerintahan kolonial Jepang di Semenanjung Korea dimulai pada tahun 1910. Banyak warga Korea -- dan warga China, dan Jepang yang keliru dikira orang Korea -- serta komunis Jepang, aktivis buruh, dan anarkis, dibunuh oleh polisi dan pasukan paramiliter. Tidak ada angka resmi, tetapi sejarawan memperkirakan sekitar 6.000 orang di antaranya dibunuh.
Pada upacara peringatan yang diadakan oleh penduduk Korea dan kelompok-kelompok HAM di sebuah monumen yang didedikasikan untuk para korban pembantaian, para peserta mengheningkan cipta dengan suara bel pada pukul 11.58, saat gempa pada 1923 terjadi. Gubernur Tokyo di masa lalu biasa mengirimkan pesan belasungkawa pada upacara tersebut, tetapi tradisi tersebut berakhir pada 2017, setahun setelah Gubernur Yuriko Koike menjabat. [ab/lt]
Forum