Tidak yakin mereka dapat menemukan makanan halal di Jepang, sekelompok guru sekolah Muslim asal Malaysia sampai memasak sendiri sarapan mereka sebelum pergi.
Namun pada akhir hari pertama kunjungan mereka, mereka merasa lebih santai. Kepala sekolah Rahanim Adb Rahim dan grupnya dari Kuala Lumpur menikmati makan siang Jepang tradisional yang terdiri dari nasi dan tempura makanan laut sebelum bergabung dengan pengunjung Senso-ji, sebuah kuil populer di Tokyo.
"Ternyata tidak sesulit yang kita bayangkan," ujar Rahanim di Tokyo Skytree, menara menjulang yang merupakan salah satu dari atraksi wisata terbaru di kota itu.
Hal itu berita menggembirakan bagi para pejabat pariwisata Jepang, yang mengandalkan pangsa pasar yang masih kecil namun terus meningkat dari turis-turis Muslim, di tengah upaya Jepang untuk melakukan diversifikasi industri pariwisata, yang selama ini bergantung pada pengunjung-pengunjung dari China, Taiwan dan Korea Selatan.
Sebagai tuan rumah Olimpiade Tokyo 2020, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mencoba mendongkrak pariwisata sebagai bagian dari rencana revitalisasi pertumbuhan "Abenomics". Pemerintah Jepang berharap dapat meningkatkan jumlah turis tahunan menjadi 20 juta pada saat itu.
Sektor pariwisata menurun signifikan setelah gempa bumi dan tsunami 2011, dan sengketa wilayah antara China dan Jepang juga mengurangi jumlah pengunjung asal China.
Namun pariwisata asing telah bangkit kembali. Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang milik pemerintah, jumlah turis Jepang pada Januari sampai September tahun ini mencapai rekor yaitu 9,7 juta orang, atau naik 26 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Jumlah terbesar dari negara-negara mayoritas Muslim adalah dari Malaysia dan Indonesia. Sebanyak 158.500 orang Malaysia datang pada sembilan bulan pertama 2014, atau naik 52,3 persen, dan jumlah turis Indonesia naik 13,4 persen menjadi 111.400 orang.
Mulai 2013, pembebasan visa telah membuat orang Malaysia lebih mudah mengunjungi Jepang, dan turis dari Indonesia akan bebas visa mulai 1 Desember.
Rahanim mengatakan masih ada hal-hal yang dapat diperbaiki agar pariwisata Jepang lebih ramah Muslim. Mushola atau tempat shalat sulit ditemui, sehingga mantan murid sekolahnya, yang menjadi pemandu tak resmi akhirnya shalat di belakang lapangan parkir toko 7-Eleven.
Shuichi Kameyama, direktur eksekutif departemen pemasaran dan promosi untuk organisasi pariwisata tersebut, mengatakan jumlah tempat shalat masih kurang, namun ia yakin akan menjadi lebih umum.
Takashimaya, sebuah tempat perbelanjaan terkenal di Jepang, baru-baru ini membuka mushola karena banyak pengunjung dari Asia Tenggara memintanya, menurut juru bicara perusahaan, Mikio Koda. Mushola itu dilengkapi dengan kamar mandi untuk wudhu dan arah kiblat ke Makkah.
Tempat-tempat bisnis lokal juga menjadi lebih sadar akan pembatasan makanan Muslim. Bagi Rahanim dan grupnya, menu berbahasa Inggris membantu mereka mengetahui makanan yang akan dimakan halal atau tidak.
Sebuah aplikasi ponsel pintar bernama "Halalminds" mencoba memudahkan pengguna mencari produk dan restoran halal di Jepang. Pembuatnya, Agung Pambudi yang berasal dari Indonesia dan tinggal di Fukuoka, merancang aplikasi tersebut awal tahun ini dan aplikasinya telah diunduh 5.000 kali.
"Sangat sulit mencari produk halal, terutama di Jepang karena saya tidak dapat membaca huruf kanji. Jadi mustahil bagi saya memahami apa bahan makanan di dalamnya," ujarnya.
Menggunakan GPS, aplikasi tersebut juga membantu menemukan restoran halal terdekat, seperti Konya, sebuah restoran Turki di Tokyo. Pemilik Konya, Ali Tada, orang Turki yang sudah dinaturalisasi sebagai warga Jepang, mengatakan ia melihat perbaikan besar dalam 10 tahun terakhir, meski masih sulit mencari restoran halal.
"Akhir-akhir ini kata 'halal' banyak digunakan. Namun Olimpiade 2020 semakin dekat dan restoran-restoran tempat Muslim bisa makan masih sedikit," ujarnya
Ia mengatakan peningkatan jumlah tempat makanan halal akan membuat pengunjung Muslim merasa lebih aman ketika datang ke Jepang. (AP)