Aktivitas Jamaah Islamiyah, organisasi yang dibentuk oleh Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar pada 1993 memang sudah menurun tetapi bukan berarti telah mati.
Dalam diskusi berjudul “Jamaah Islamiyah 4.0 in Southeast Asia,” Rakyan Adibrata, Country Director The International Association for Counter-terrorism and Security Professionals (IACSP) Indonesia mengatakan Jemaah Islamiyah (JI) memiliki kemampuan lebih kuat dibanding ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dalam hal perekrutan hingga pendanaan sendiri organisasinya.
Jamaah Islamiyah menurutnya bisa lebih beradaptasi dalam menghadapi perkembangan situasi di Asia Tenggara.
"Dibanding JI (Jamaah Islamiyah), kelompok pro-ISIS di Indonesia sebagai contoh adalah Jamaah Ansharud Daulah terlihat seperti anak-anak. JI kelihatan sangat profesional dalam hal kemampuan, organisasi mampu bertahan dalam jangka panjang di Indonesia. JI mempunyai kemampuan untuk menginfiltrasi ke dalam berbagai organisasi," kata Rayan.
JI Pandai Beradaptasi dan Jual Gagasan
Rakyan mencontohkan bagaimana Jamaah Islamiyah bisa masuk dan berbaur ke dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beragam institusi pemerintah. Juga berbaur dengan anggota masyarakat lainnya, menampilkan citra sebagai orang baik dan terbuka sehingga tidak dicurigai bahwa mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah.
Dokter Sunardi yang tewas ditembak oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror bulan Maret lalu di Sukoharjo, Jawa Tengah, dan juga anggota Komisi Fatwa MUI Ustadz Zain an-Najah yang ditangkap November 2021 adalah contoh paling nyata, tambah Rakyan.
Sementara anggota ISIS tidak mampu berbaur dengan masyarakat dan cenderung memiliki dunianya sendiri, sehingga gampang dicurigai.
Rakyan menambahkan Jamaah Islamiyah juga memiliki kemampuan lebih baik dibanding ISIS dalam menjual gagasannya. Saat ISIS mengkampanyekan khilafah, Jamaah Islamiyah menjual ide penerapan syariat Islam, yang lebih mudah disosialisasikan dan mendapat dukungan luas di sebuah negara Muslim dibanding menjual gagasan mengubah bentuk negara menjadi khalifah.
Ribuan Anggota Jemaah Islamiah Beroperasi di Indonesia
Bilveer Singh dari Rajaratnam School of International Studies mengungkapkan saat ini terdapat sekitar 3-5 ribu anggota Jamaah Islamiyah yang beroperasi dengan berbagai penampilan di seluruh Indonesia.
Mantan anggota Jamaah Islamiyah Nasir Abbas menegaskan operasi Jamaah Islamiyah – yang cikal bakalnya dibentuk pada tahun 1993 berdasarkan Negara Islam Indonesia NII yang didirikan tahun 1948 – tidak akan pernah berhenti. Itulah yang selalu dia katakan kepada penyidik ketika ditangkap pada April 2003.
Meski majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada April 2008 menetapkan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi terlarang, dan pemimpinnya Para Wijayanto ditangkap tahun 2019 lalu, namun anggota-anggotanya tetap beroperasi.
Nasir mengungkapkan bagaimana Jamaah Islamiyah kerap mengirim anggotanya untuk berlatih atau menjadi instruktur di Suriah pada 2012 tanpa sepengetahuan pihak intelijen Indonesia. Dia memuji Jamaah Islamiyah yang masih mampu beroperasi secara rahasia berdasarkan PUPJI atau Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah.
Dia menjelaskan berdasarkan PUPJI, Jamaah Islamiyah adalah organisasi yang memiliki komando terpusat. Tapi kalau keadaan tidak memungkinkan maka kepemimpinan dibagi-bagi, meskipun tetap dikontrol oleh pusat.
"Mereka memang terpecah-pecah tapi masih dalam kontrol. Terpisah dalam beberapa kelompok Jamaah islamiyah berbeda, mereka mungkin tidak mengenal satu sama lain namun mereka masih dalam kontrol oleh pemimpin Jamaah Islamiyah. Karena itulah disebut desentralisasi terkontrol," tutur Nasir.
Nasir memperingatkan Jamaah Islamiyah di Indonesia sedang bangkit dan menyebarluaskan ideologinya. [fw/em]