Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Sejak Sekolah Dasar, anak-anak di Indonesia menghafalkan lima sila di dalamnya. Di era Orde Baru, bahkan Pancasila menjadi doktrin tunggal. Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki pengalaman terkait ini dan berharap ada perubahan cara pandang kita. Berikut laporan selengkapnya.
Pancasila itu pedoman hidup untuk landasan bertindak, tidak perlu banyak didiskusikan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan itu di Yogyakarta Kamis (15/8) pagi. Semua yang mendengar tertawa terbahak, karena justru mereka baru mendiskusikan Pancasila selama tiga hari di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pernyataan Jusuf Kalla bukan tanpa dasar. Dia, yang memulai karir sebagai pengusaha di era Orde Baru, merasakan sendiri bagaimana posisi Pancasila ketika itu. Untuk bisa menjadi rekanan Pertamina, pengusaha harus memiliki sertifikat penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
“Jadi saya tanya, penataran apa yang paling singkat, karena saya mau segera. Ada di tingkat kelurahan, cuma dua hari. Saya datanglah ke kelurahan, sponsori bikin satu kali lagi penataran P4, termasuk saya ikut, selama dua hari. Saya dapat sertifikat, lulus dan jadi rekanan Pertamina. Jadi, kebutuhannya menjadi administratif. Pancasila menjadi syarat administratif,” kata Jusuf Kalla.
Pancasila untuk Dipraktikkan, Bukan Dihafalkan
Kalla juga memaparkan berbagai tragedi kebangsaan yang terjadi karena pemaknaan Pancasila hanya sekedar doktrin. Pemerintahan Soekarno dan Soeharto sama-sama jatuh, padahal keduanya telah mendoktrin rakyat dengan Pancasila. Tahun 1998, terjadi kerusuhan padahal Orde Baru telah membekali seluruh lapisan masyarakat dengan sertifikat P4. Menurut Kalla, semua terjadi karena sibuk mengurusi dasar, tetapi tidak peduli pada tujuan. Kata Kalla, tujuan bangsa ini mencapai masyarakat adil dan makmur tidak tercapai.
Dalam kasus pengungsi Rohingya, ujar Kalla, banyak pihak menolak kapal mereka yang akan merapat ke Aceh karena mengalami kerusakan. Dia kemudian menelepon Panglima TNI, Gubernur Aceh dan sejumlah menteri, untuk mengingatkan sila kedua Pancasila. Sila yang setiap hari diucapkan itu harus dipraktikkan, dan desakan Kalla membuat keputusan banyak pihak berubah.
Konflik-konflik besar di Indonesia juga terjadi karena Pancasila tidak dipraktikkan dengan benar. Menurut Kalla, Persatuan Indonesia selalu berhubungan dengan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Selama Indonesia merdeka, ada 15 kali konflik besar. Yang saya maksud konflik besar, kalau korbannya di atas seribu orang. Di antara 15 kali itu seperti di Madiun, RMS, DI TII, PRRI-Permesta, Papua, Ambon, Poso, Aceh, Kalimantan, sepuluh karena ketidakadilan,” ujar Kalla.
“Orang mengira konflik Aceh karena agama. Tidak. Karena Aceh kaya dengan gas dan minyak tetapi orang Aceh tidak menikmati. Ambon dan Poso itu karena ketidakadilan politik. DI-TII muncul karena tidak ada perlakuan adil terhadap para pejuang,” tambah Kalla.
Membumikan Pancasila
Konggres Pancasila kali ini adalah penyelenggaraan ke-11. Rangkaian dimulai pada Rabu (14/8) sore, dengan pidato yang disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X di depan peserta. Hadir pula ribuan anak sekolah yang menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
Hampir senada dengan Jusuf Kalla, Sultan juga menggarisbawahi pentingnya membumikan Pancasila.
“Dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi praktis, segala bentuk permasalahan akan dapat diselesaikan dengan baik dan bermartabat. Pancasila juga seyogyanya bukan hanya dianggap mitos, namun harus bisa menjadi etos,” kata Sultan.
Sultan juga menegaskan, Pancasila tidak bisa berhenti dalam simbol, tetapi perlu aktualisasi.
“Pancasila tidak bisa hanya dijadikan ideologi yang berwajah mitos atau politis. Untuk itu, dibutuhkan kerja ekstra keras dari kalangan pemikir guna menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Praktis,” tambahnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Panut Mulyono mengulik sejarah perjuangan bangsa yang kemudian melahirkan Pancasila. Dengan pengorbanan yang begitu banyak, hingga saat ini ternyata nilai-nilai Pancasila itu belum sepenuhnya ada dalam kehidupan berbangsa. Para pendahulu telah berjuang menghapus struktur yang membeda-bedakan warga negara. Namun, saat ini pun, masih terjadi relasi kuasa tidak seimbang, di mana ada sebagian warga negara merasa superior sebagai kelas pertama dan sebagian menjadi warga kelas dua.
“Munculnya organisasi atau masyarakat sipil yang tidak sipil menjadi tantangan penting untuk masyarakat demokrasi dan masyarakat Pancasila kita hari hari ini. Sebuah negara yang dipenuhi oleh sikap-sikap yang tidak sipil dan penuh kebencian akan memecahkan sendi-sendi persatuan bangsa yang telah dibangun bersama-sama, menjadikan lingkungan tidak sehat, merusak dan beracun, tidak menciptakan kemajuan, produktivitas dan peradaban yang tinggi,” ujar Panut.
Kebebasan mengungkapkan pikiran dan keyakinan, kata Panut, perlu diberi tempat, dilindungi dan diberi saluran. Namun, praktiknya harus dilakukan sesuai prinsip-prinsip masyarakat sipil yang elegan dan beradab.
“Dalam mengelola perbedaan, tidak perlu mencari kunci di rumah tetangga, tetapi kita perlu kembali ke tempat asal, bahwa kuncinya, yaitu Pancasila, ada di rumah kita yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” papar Panut Mulyono. [ns/ab]