Presiden Jokowi mengatakan pertemuannya dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh semata-mata hanya ingin menjadi jembatan atau penghubung bagi semua pihak.
“Tapi itu sebetulnya saya itu hanya menjadi jembatan. Yang paling penting nanti partai-partai. (menjadi) jembatan untuk semuanya, saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya. Urusan politik itu urusan partai-partai,” ungkap Jokowi di Jakarta, Senin (19/2).
Ia menekankan bahwa pertemuan yang berlangsung pada Minggu malam (18/2) masih merupakan pertemuan awal dan belum ada hasil akhir yang bisa dilontarkan ke publik.
Jokowi pun tidak mengatakan dengan gamblang siapa pihak yang menginginkan pertemuan tersebut. Menurutnya, hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Pertemuan itu, kata Jokowi, merupakan pertemuan politik biasa.
“Yang paling penting memang ada pertemuan, dan itu akan sangat bermanfaat bagi perpolitikan kita, bagi negara. Saya kira yang paling penting itu,” tambahnya.
Upaya Merangkul Semua Pihak?
Pengamat politik Ujang Komaruddin menilai pertemuan Jokowi dengan Surya Paloh sejalan dengan pidato Prabowo-Gibran di Istora Senayan, Jakarta pada hari pencoblosan 14 Februari yang mengatakan bahwa dirinya akan merangkul semua pihak, dalam arti tokoh dan partai yang berada di luar kubu paslon capres-cawapres nomor urut 2.
“Artinya partai-partai politik yang kalah begitu juga kubu 01 akan dirangkul. Dalam konteks itu, maka tidak aneh dan tidak heran kalau misalkan pak Surya paloh bertemu dengan Pak Jokowi. dan Pak Jokowi mengatakan dia akan menjadi jembatan antara kepentingan Nasdem dengan Prabowo-Gibran atau dengan Koalisi Indonesia Maju,” ungkap Ujang.
Ia menilai campur tangan Jokowi merupakan hal yang lumrah karena jika benar akan membangun koalisi maka komunikasi dijalin dengan Prabowo atau Jokowi.
PDI-Perjuangan Dinilai Jadi Partai Yang Paling Siap Beroposisi
Partai yang dinilai sangat siap menjadi oposisi adalah PDI-Perjuangan.
“Daya tahan PDIP untuk menjadi oposisi kan sudah terbukti, dulu masa orde baru. Lalu di zaman pemerintahan presiden SBY juga oposisi. Jadi DNA-nya PDIP DN oposisi, walaupun pernah juga berkuasa dalam konteks 10 tahun terakhir, walaupun ada hubungan yang tidak baik dengan Jokowi. Dalam hal itu saya melihat satu-satunya partai yang siap beroposisi kelihatannya hanya PDIP,” jelasnya.
Meski begitu, ia berharap nantinya akan terjadi keseimbangan antara pemerintahan yang berkuasa dan oposisi yang menjadi pengawas pemerintah. Dengan begitu, katanya akan terjadi check and balance, serta praktik demokrasi yang lebih baik dalam lima tahun ke depan.
“Jadi kalau koalisi pemerintahannya kuat, oposisinya lemah, tidak akan ada pengawasan yang kuat, tidak akan ada kontrol yang kuat sehingga kekuasaan akan cenderung bisa saja disalahgunakan. Dalam konteks itu maka agar ada keseimbangan, untuk menjaga demokrasi maka perlu oposisi yang kuat dan tangguh. Persoalannya apakah, akan ada parpol yang mau menjadi oposisi? Mungkin sedikit, karena menjadi oposisi itu menderita, cenderung dikerjai, cenderung dicari-cari kasus hukumnya,” jelasnya.
“Tapi dalam konteks untuk menjaga demokrasi agar sehat, agar ada perimbangan kekuasaan, maka oposisi menjadi sebuah keniscayaan yang harus ada untuk mengontrol jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan,” pungkasnya.
Sembilan partai politik yang tergabung dalam “Koalisi Indonesia Maju” dan mengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, Partai Gerindra, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, PSI, dan Partai Prima.
Sementara paslon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebelumnya diusung oleh tiga parpol yakni Nasdem, PKS dan PKS.
Paslon nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD diusung oleh empat parpol yakni PDIP, Partai Persatuan pembangunan (PPP), Partai Perindo dan Partai Hanura.
Hingga Senin malam (19/2) peroleh suara Prabowo-Gibran masih mendominasi hasil quick count yang dimutakhirkan oleh KPU, serta dirilis sejumlah lembaga survei. Paslon nomor urut 2 meraih 56,61 persen suara versi KPU. [gi/em]
Forum