Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan, pertemuan antara Wang dan Jokowi di antaranya membahas peningkatan kerja sama dalam bidang ekonomi yang saling menguntungkan.
“Bapak Presiden menyoroti di bidang perdagangan misalnya, volume atau nilai terus meningkat dan kita melihat terus lebih seimbang. Jadi sudah sangat lebih seimbang dilihat dari perdagangan bilateral dua negara,” ungkap Retno kepada wartawan usai pertemuan.
Sebagai catatan, China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan volume perdagangan mencapai lebih dari $127 miliar. China juga merupakan salah satu investor asing terbesar di Indonesia, dengan arus investasi lebih dari $7,4 miliar pada tahun 2023.
Retno menjelaskan, dalam pertemuan tersebut, Jokowi meminta kepada Wang Yi agar RRT membuka akses pasar bagi produk Indonesia ke RRT, dan menyelesaikan masalah-masalah terkait protokol impor untuk produk pertanian dan perikanan Indonesia.
Jokowi, katanya juga mengharapkan RRT bisa ikut andil dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN),di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, khususnya dalam bidang moda transportasi.
Retno juga mengatakan bahwa Jokowi ingin agar RRT mempercepat penyelesaian studi kelayakan untuk kereta cepat Jakarta- Surabaya, dan mendorong adanya alih teknologi.
“Bapak Presiden juga mendorong implementasi proyek strategis di kawasan industri Kaltara Khususnya untuk investasi di bidang petrokimia. Lalu mengenai masalah ketahanan pangan. Ketahanan pangan sangat penting. Oleh karena itu kerja sama pertanian dua negara penting untuk ditingkatkan khususnya untuk padi, hortikultura dan durian dengan salah satunya mempelajari modeling pertanian RRT,” jelas Retno.
Konflik Timur Tengah
Isu Timur Tengah yang sedang memanas juga tidak luput dari pembicaraan keduanya. Jokowi, kata Retno, menyampaikan kepada Wang Yi bahwa Indonesia terus melakukan komunikasi diplomatik dengan berbagai pihak termasuk Iran dan Amerika Serikat. Indonesia dalam komunikasi itu, menurutnya, selalu menekankan pentingnya deeskalasi, dan meminta negara-negara untuk menggunakan pengaruhnya agar eskalasi dapat dihindari.
“Di dalam diskusi tadi posisi RRT dan Indonesia sama di dalam isu ini dan Bapak Presiden juga menyampaikan keyakinannya bahwa RRT juga akan menggunakan pengaruhnya agar eskalasi dapat dicegah,” jelasnya.
Wang Yi, ungkap Retno, juga menekankan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina melalui solusi dua negara, seperti halnya Indonesia. Baik Indonesia maupun RRT, kata Retno, meyakini bahwa konflik Palestina harus diselesaikan secara adil melalui solusi itu apabila semua pihak ingin melihat stabilitas di Timur Tengah.
“Tadi juga dilakukan exchange mengenai dukungan mayoritas negara-negara anggota PBB untuk keanggotaan penuh Palestina di PBB. Di dalam hal ini sekali lagi posisi Indonesia dan RRT sama, bahwa kita mendukung penuh keanggotaan Palestina di PBB,” jelasnya.
Ketergantungan Ekonomi Indonesia Terhadap China
Zulfikar Rakhmat, Direktur Pusat Kajian China dan Indonesia di Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), mengatakan pembicaraan kerja sama ekonomi yang dilakukan di dalam setiap pertemuan antara Indonesia dengan RRT selalu sama dari waktu ke waktu.
Ia juga mengakui bahwa secara angka baik dalam hal neraca perdagangan maupun investasi RRT selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Namun, Zulfikar menyayangkan Indonesia kerap tidak membahas isu-isu sensitif yang menurutnya seharusnya diselesaikan agar hubungan bilateral antara Indonesia dan RRT bisa lebih baik lagi ke depannya.
“Kita ambil contoh, misalnya melanjutkan kereta cepat yang ke Surabaya, tapi tidak dibahas bagaimana isu-isu kemarin ketika pembangunan Jakarta-Bandung, utang yang masih belum jelas kapan bisa terbayarkan, kemudian isu kecelakaan pekerja dan seterusnya tidak dibahas. Belum lagi dampak negatif investasi China terutama di sektor mineral tidak dibahas. Kemudian isu Laut China Selatan tidak dibahas,” ungkap Zulfikar.
Ia menilai, apabila isu-isu sensitif tersebut tidak dibahas, pertemuan yang cukup sering antara Indonesia dan RRT tidak memiliki substansi yang cukup penting. Bahkan ia menyebut bahwa hubungan kedua negara ini saat ini cenderung tidak memiliki kualitas yang cukup baik.
“Jadi untuk menciptakan hubungan yang sehat, itu tidak hanya dilihat dari kuantitatif, tidak hanya dilihat dari angka, oh iya angkanya sudah sama, investasinya besar. Tetapi juga dilihat dari segi kualitatif, kualitas bagaimana dampak-dampak negatif itu juga perlu diselesaikan, masalah-masalah yang masih menjadi enigma dalam hubungan Indonesia-China juga perlu diselesaikan,” jelasnya.
“Kemudian juga dampak lingkungan yang masif (akibat investasi RRT), kami di CELIOS baru saja pulang dari Morowali, bertemu dengan pemerintah daeah di sana. Mereka komplain terhadap dampak lingkungan, isu pekerja yang ada di sana. Hal-hal demikian kok tidak dibahas,” tambahnya.
Dengan begitu bergantungnya Indonesia kepada negeri matahari terbit ini, jelas Zulfikar Indonesia seakan tidak punya kuasa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sebenarnya berdampak tidak baik bagi Indonesia. Ia juga mengingatkan pemerintah bahwa perlambatan ekonomi RRT dalam kurun waktu beberapa waktu terakhir ini juga akan berdampak kepada perekonomian tanah air.
“Kita tidak punya bargaining power, isu-isu yang lebih strategis misalnya tentang Laut China Selatan. Laut China Selatan ini soal kedaulatan, bagaimana China masuk ke area kita, tapi kita gak punya strong position. Kenapa? Karena kita bergantung secara ekonomi dengan China, kita nggak berani misalnya mengatakan “jangan masuk ke wilayah kami”. Indonesia tidak berani mengatakan itu ke China, dan tidak dibahas juga,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum