Presiden Joko Widodo memberi pengarahan kepada lebih dari 2.000 kepada desa se-Jawa dan Kalimantan di Yogyakarta, hari Rabu siang (25/7). Dengan gayanya yang santai, dia juga mengundang kepala desa untuk menyampaikan keluhan langsung di depan forum.
Dulu, sebelum ada Dana Desa, dalam berbagai forum kepala desa selalu mengeluh ketiadaan anggaran. Kini setelah dikirim dana rata-rata Rp 1 miliar per desa setiap tahun, keluhan mereka adalah soal pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Salah satunya, disampaikan Heri Wibowo, Kepala Desa Mlese, Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah.
“Pertama, masalah pajak. Karena kita memberdayakan masyarakat desa, kadang mereka tidak memiliki NPWP. Padahal semua bantuan harus kena pajak. Sehingga toko tidak mau memberi harga sesudah pajak, kalau harga semen misalnya 37 ribu, toko menulis harga 37 ribu, tidak 40 ribu lebih setelah pajak. Sehingga kepala desa harus minta nota kosong. Karena minta nota kosong, kadang diprotes warga, dianggap berbohong, tetapi memang harus bohong karena harga itu harus menyesuaikan PPN/PPH,” kata Heri Wibowo.
Heri memberi alasan, faktor sumber daya manusia memberi pengaruh besar. Warga desa yang berkemampuan cukup tinggi, memilih mencari pekerjaan di kota. Yang masih tinggal di desa, tidak mampu belajar cepat mengenai perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban program pembangunan.
“Misalnya membangun jalan, rencananya sudah beli 40 zak semen, setelah dikerjakan hanya habis 20 zak. Padahal laporannya harus sesuai rencana,” kata Heri di depan Jokowi.
Menanggapi Heri Wibowo, Jokowi mengakui sudah mencoba meminta Kementerian Keuangan untuk menyederhanakan standar laporan dari desa. Tidak mungkin ditetapkan skema yang sama, antara lembaga kementerian dengan desa.
Tetapi Jokowi memberi syarat, pengelolaan Dana Desa harus lebih baik ke depan. Dia tidak mau kepala desa menyelewengkan dana pembangunan itu. “Saya titip, gunakan dengan hati-hati. Karena ini bermanfaat bagi rakyat desa, bagi desa, tetapi bisa menjadi malapetaka jika penggunaannya awur-awuran sehingga bapak- ibu berhadapan dengan aparat hukum,” ujar Jokowi.
Dana desa sendiri mulai diluncurkan pemerintah pada tahun 2015, dengan aggaran Rp 20 triliun. Angka itu naik pada 2016 menjadi Rp 47 triliun, dan Rp 60 triliun pada 2017. Tahun ini, pemerintah menganggarkan jumlah yang sama dengan tahun sebelumnya. Total, kata Jokowi, sudah Rp 187 triliun uang pusat mengalir langsung ke desa-desa dalam empat tahun terakhir.
“Itu angka yang sangat besar sekali dalam sejarah anggaran di negara kita. Rp 187 triliun dalam empat tahun. Oleh sebab itu, penggunaannya harus tepat sasaran. Apa yang diperlukan desa, kerjakan dengan Dana Desa ini. Infrastruktur, bisa dipakai untuk jalan, bisa dipakai untuk memperbaki irigasi agar lahan produktif. Saya hanya titip, setelah desa mendapatkan anggaran, agar pembelian barang dan material dilakukan lingkup desa, kalau terpaksa di lingkup kecamatan, agar uang beredar di desa terus,” lanjut Jokowi.
Kepada ribuan kepala desa yang hadir, Jokowi secara khusus menyampaikan pesan agar menjaga suasana rukun di tingkat bawah memasuki tahun politik 2019. Kepala desa diharapkan tidak larut dalam suasana panas, atau dalam bahasa Jokowi menjadi kompor terkait konflik. Jokowi juga berterimakasih karena pelaksanaan Pilkada di 171 daerah akhir bulan lalu, berjalan aman, lancar, jujur, adil, tanpa masalah berarti.
Kementerian Dalam Negeri sendiri mengaku, masih ada beberapa persoalan terkait penyelenggaraan pemerintahan desa. Masalahnya begitu kompleks sehingga belum dapat diselesaikan, meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Kendala yang dihadapi hingga saat ini, antara lain belum optimalnya efektivitas pelaksanaan penataan desa, masih belum optimalnya kapasitas sumberdaya manusia aparatur desa dan efektivitas kelembagaan desa serta tata kelola pemerintahan desa,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Tjahjo menambahkan, untuk menjalankan peran secara efektif dan efisien, pemerintah desa harus menyelaraskan kemampuannya dengan kemajuan masyarakat desa sendiri. Perubahan sosial di masyarakat desa, sebagai buah pembangunan perlu diimbangi pengembangan kapasitas aparatur desanya. Karena itulah, pemerintah rutin mengumpulkan kepala desa, badan pengawasan desa dan pendamping desa guna belajar bersama.
“Kegiatan ini dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa setiap tahun, dalam upaya untuk penguatan aparatur desa agar lebih memahami tata cara perencanaan, mekanisme dan cara menyusun laporan pertanggungjawaban desa dan tata kelola pemerintah di desa,” jelas Tjahjo Kumolo. [ns/uh]