Memasuki akhir tahun kedua masa jabatannya, Presiden Joko Widodo terlihat lebih kuat: partai-partai politik ada di belakangnya, popularitasnya tinggi dalam jajak-jajak pendapat dan perekonomian mulai membaik.
Setelah tahun pertama yang buruk ketika rupiah anjlok dan para pengkritik mempertanyakan kemampuannya memerintah, staf dan politisi yang dekat dengan Presiden mengatakan kepada Reuters bahwa ia sekarang merasa menguasai keadaan dan sudah mempertimbangkan pemilihan kembali tahun 2019.
Namun Presiden Jokowi terlihat sedikit berbalik dari reformasi politik dan ekonomi yang dijanjikannya saat kampanye pemilihan presiden 2014.
Sebaliknya, ia telah berkonsentrasi membangun aliansi untuk memperkuat wewenangnya, mengingatkan pada mantan presiden Suharto, yang keahliannya dalam berpolitik membuatnya berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
"Ia mulai seperti Suharto baru," ujar seorang pejabat senior, mengacu kepada "kalkulasi penuh kedisiplinan dan kepala dingin" dalam melakukan perombakan kabinet bulan Juli, di mana Presiden memberikan posisi-posisi kepada partai-partai dari seluruh spektrum politik.
Juru bicara kepresidenan Johan Budi mengatakan Presiden "belum berpikir" tentang pilpres 2019. "Ia fokus pada masa jabatan sekarang dan pada upaya untuk memakmurkan rakyat," ujarnya.
Para analis mengatakan manuver politik Presiden barangkali berarti ia tidak akan terlalu berupaya melakukan perubahan radikal di negara ini, yang terlalu bergantung pada ekspor-ekspor sumber daya yang terhantam anjloknya harga-harga komoditas baru-baru ini.
"Bukannya mengubah permainan, seperti yang dijanjikannya pada pemilih, Jokowi telah mulai menguasainya," ujar Aaron Connelly, peneliti di Lowy Institute for International Affairs di Sydney.
Marcus Mietzner, profesor madya di College of Asia and the Pacific di Australian National University menambahkan, "Ia, sayangnya, tahu bahwa isu-isu ini tidak akan memenangkan atau membuat kalah dalam pemilu, jadi ia mengabaikannya."
Kelangsungan Politik
Para staf mengatakan Presiden tidak berdaya ketika pertama kali menjabat karena ia tidak memiliki suara mayoritas di parlemen untuk mendorong reformasi dan karena ia tertahan oleh mantan presiden Megawati Sukarnoputri, pemimpin yang mendominasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Mereka mengatakan Presiden yang berusia 55 tahun itu tidak mudah ditebak, namun setelah beberapa ketidaksepahaman dengan Megawai, jelas ia ingin menundukkan PDI-P dan memenangkan dukungan partai-partai lain.
Terobosannya muncul bulan Januari ketika Golkar, yang memegang hampir 15 persen kursi parlemen, sepakat untuk mendukung koalisi Jokowi.
Dengan perombakan kabinet terakhir, ia menarik beberapa partai lebih dekat, memperkuat dukungan dari sekitar dua pertiga anggota parlemen dan memastikan ia tidak perlu lagi bergantung pada satu partai untuk kelangsungan politiknya.
"Partai-partai ini telah mendorong agenda mereka msing-masing dengan Jokowi, tapi ia telah memastikan akan mendapatkan apa yang ia butuhkan dari mereka juga," ujar Eva Kusuma Sundari, politisi PDI-P.
Setelah lebih dari setahun diremehkan beberapa menteri yang berbicara semaunya dan tanpa terkoordinasi, tidak diragukan lagi Presiden sedang menekankan kekuasaannya dengan perombakan terakhir.
Mulai sekarang para menteri tidak akan diizinkan untuk memiliki "visi dan misi" sendiri, ujarnya pada tim kabinet baru usai pelantikan. "Tidak ada yang bergerak sendiri."
Pejabat senior yang berbicara kepada Reuters mengatakan bahwa popularitas 68 persen yang diperoleh Presiden dalam jajak pendapat baru-baru ini, tertinggi sejak ia menjabat, dan begitu banyak dukungan dari partai-partai, ia sekarang bisa mendorong reformasi-reformasi ekonomi yang sulit seperti membuka industri-industri yang telah lama diproteksi.
Namun, para analis mengatakan bahwa setelah hampir dua tahun, masih belum jelas apakah Presiden mendukung pasar bebas atau proteksionisme karena kebijakan-kebijakannya sangat tidak konsisten.
"Sebagian besar hanya menyentuh permukaan sehingga kata reformasi saya kira tidak tepat," ujar Matthew Busch, konsultan ekonomi dan investasi Indonesia.
Orang-orang terdekat mengatakan Presiden tidak memiliki visi besar untuk Indonesia, namun ia memiliki dorongan untuk membuatnya berfungsi lebih baik. Itu sebabnya mengapa ia fokus pada stabilitas dan pembangunan infrastruktur dan terkadang melakukan pengelolaan secara mikro.
Mietzner mengatakan penunjukan Wiranto dalam kabinet adalah bukti bahwa kepentingan politik menjadi prioritas.
Wiranto, Panglima Angkatan Bersenjata RI saat Presiden Suharto mundur tahun 1998, didakwa oleh panel PBB atas pertumpahan darah dalam referendum Timor Timur tahun 1999. Mantan jenderal itu masih menyangkal hal tersebut.
"Tidak ada alasan untuk memilih Wiranto, namun Presiden melakukannya karena langkah itu secara aman sesuai dengan kalkulasi kabinetnya," ujar Mietzner. "Ia tidak cukup peduli dengan isu-isu hak asasi manusia sehingga tidak menganggap pemilihan Wiranto problematis." [hd/es]