Presiden Joko Widodo meminta penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RUU KUHP) karena masih banyak materi yang perlu didalami. Hal itu diketahuinya setelah mendapatkan sejumlah masukan dari berbagai kalangan.
“Untuk itu, saya telah memerintahkan Menkumham selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI. Yaitu, agar pengesahan RUU KUHP ditunda. Dan, pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini. Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya,” ungkap Jokowi di Istana Kepresidanan Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9).
Ditambahkannya, kurang lebih ada 14 pasal dalam RUU KUHP ini yang perlu pendalaman lebih lanjut dan membutuhkan diskusi lebih dalam dengan DPR dan masyarakat.
“Tadi saya melihat materi-materi yang ada, substansi-substansi yang ada, ada kurang lebih 14 pasal, jadi ini yang akan kami koordinasikan baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan materi-materi yang ada,” papar Jokowi.
Oleh karena itu, ia memerintahkan Menkumham untuk kembali meminta masukan-masukan dari masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU KUHP yang ada saat ini.
“Saya juga memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk kembali menjaring masukan-masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada," jelasnya.
Institute for Criminal Justice Reforme (IJCR) mengapresiasi langkah Jokowi untuk meminta penundaan pengesahan RUU KUHP tersebut. Dalam siaran persnya, Direktur Eksekutif ICJR Anggara menilai ini adalah sebuah langkah yang tepat mengingat dalam draft RKUHP yang ada sekarang masih perlu dibahas dan terus diperbaiki.
ICJR mendorong Presiden Jokowi untuk segera membentuk Komite Ahli Pembaruan Hukum Pidana yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu yang terkait seperti kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat serta masyarakat sipil.
“Keberadaan Komite tersebut, penting untuk dapat menjaga kebijakan hukum pidana yang dibuat di dalam Pemerintahan ini supaya selalu sejalan dengan prinsip - prinsip demokrasi konstitusional dan dibahas secara komprehensif yang mendapatkan dukungan luas dari masyarakat,” ungkap Anggara. [gi/em]