Menanggapi berkembangnya polemik di masyarakat, seputar adanya pasal penghinaan kepada Presiden dalam rancangan undang-undang KUHP, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan hal itu masih dalam pembahasan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Usai melakukan peresmian di Pelabuhan Kali Adem Jakarta Selasa (4/8), Presiden Jokowi menganggap, pasal penghinaan presiden perlu ada dalam KUHP untuk memproteksi masyarakat yang bersikap kritis sehingga tidak terjerat pada pasal-pasal "karet" yang berujung pidana. Karena itu, pemerintah lanjut Presiden, menambahkan kalimat yang dianggap bisa memberikan proteksi itu.
"Tapi masalah yang ini soal pasal penghinaan, ini masih dalam rancangan. Usulan, rancangan kepada dewan (DPR). Usulan rancangan kepada dewan. Kalau saya lihat di situ justru untuk memproteksi orang-orang yang kritis, masyarakat yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan, untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jangan dibalik-balik. Justru memproteksi. Yang ingin mengkritisi, memberikan pengawasan, yang ingin memberikan koreksi silahkan. Jangan sampai nanti ada yang membawa ke pasal karet. Dan Inipun urusannya Presiden sebagai simbol negara dan bukan pasalnya saja. Dan nantinya juga jangka panjang," jelas Jokowi.
Presiden mengaku sering menjadi obyek ejekan hingga cacian sejak menjabat Wali Kota Solo hingga kini menjadi Presiden. Namun, dia menyatakan tak akan memidanakan para penghinanya itu.
"Sejak Walikota, jadi Gubernur, jadi Presiden, itu yang namanya diejek, dicemooh, namanya dicaci, dihina, itu sudah makanan sehari-hari. Biasa. Dan sebetulnya seperti itu bisa..kalau saya mau, bisa dipidanakan. Bisa dipidanakan. Ribuan kayak gitu, kalau saya mau. Tapi sampai detik ini, hal tersebut kan tidak saya lakukan," tambahnya.
Berbeda dengan Presiden, Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin berpendapat, pasal penghinaan Presiden telah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Politisi Partai Golkar itu menyatakan, keputusan MK itu bersifat final dan mengikat.
"Berdasarkan azaz hukum yang berlaku, segala sesuatu yang telah dibatalkan di MK, itu tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali dalam rancangan undang-undang yang baru. Tapi biarlah itu nanti pembahasannya dilakukan di panitia kerja rancangan undang-undang KUHP dalam bentuk daftar inventarisasi masalah. Karena negara ini kan negara hukum. Negara hukum itu, keputusan dari Mahkamah Konstitusi itu bersifat final. Sehingga apa yang telah diputuskan tidak mungkin itu untuk dihidupkan kembali. Dihidupkan kembali pun, akan dibatalkan kembali oleh MK. Kan kita tidak mungkin mau membahas 2 kali. Kemudian dibatalkan 2 kali. Itu kan hal yang secara logika hukum tidak mungkin kita lakukan," papar Aziz.
Aziz menambahkan, pertimbangan dalam amar putusan MK itu cukup detail. Dalam hal tertentu aturan itu berhimpitan dengan Undang-Undang Dasar yang menjaga kebebasan dalam mengungkap pikiran. Aziz mengungkapkan perlunya pemahaman lebih jauh mengenai urgensi dibalik pengajuan pasal penghinaan terhadap presiden ini.
Pemerintah menambah butir pasal dalam pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Di dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa, "setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Di dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Menurut Presiden, pasal itu ada untuk melindungi Presiden sebagai simbol negara.