Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kota New York, Amerika Serikat, pada Kamis (7/4) waktu Jakarta, sepakat menangguhkan keanggotaan Rusia dalam Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Keputusan itu dihasilkan lewat pemungutan suara dengan rincian 93 negara mendukung, 24 negara menolak dan 58 negara abstain termasuk Indonesia.
Usulan pembekuan keanggotaan Rusia dari Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara itu diajukan oleh Amerika Serikat, setelah beredar foto-foto dan rekaman video yang menggambarkan pembantaian warga sipil di Bucha, sebuah kota yang terletak di Provinsi Kyiv, Ukraina.
Rusia menjadi negara kedua yang ditangguhkan keanggotaannya di Dewan HAM PBB setelah Libya pada 2011. Rusia pun akhirnya memutuskan keluar dari Dewan HAM PBB.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, Jumat (8/4), mengatakan kepada VOA, pilihan abstain yang diambil Indonesia bukan berarti Indonesia tidak memiliki keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban di Bucha, terutama warga sipil.
Dia menambahkan keputusan abstain itu diambil karena sebelumnya sudah ada gagasan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk membentuk tim investigasi independen yang akan menyelidiki dugaan kejahatan perang yang terjadi di Ukraina.
"Jadi akan lebih baik bila komisi tersebut diberi kesempatan untuk melakukan investigasi. Barulah kita memberikan satu sikap di forum-forum internasional. Karena kita tidak ingin ada satu preseden yang kemudian seakan-akan kita menghakimi sebelum investigasi dilakukan," kata Faizasyah.
Faizasyah mengungkapkan, Indonesia sangat mendukung pembentukan tim penyelidik independen untuk mencari fakta-fakta tentang dugaan kejahatan perang di Ukraina.
Menurutnya, sikap Indonesia yang menunggu hasil inevstigasi tim independen PBB tersebut sejalan dengan pandangan negara-negara lainnya. Menurutnya, menuding secara semena-mena tanpa melalui proses penyelidikan yang baik merupakan preseden buruk.
Faizasyah menegaskan sikap Indonesia tidak bisa diartikan sebagai sikap lemah dalam penegakan HAM. Ia mengatakan, Dewan HAM memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi negara-negara anggota untuk memberikan perpespektif terhadap sebuah isu. Indonesia tidak ingin Dewan HAM hanya menyuarakan pandangan satu pihak saja.
Pengamat internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto menjelaskan sikap abstain diambil Indonesia itu sejalan dengan kehati-hatian yang ditempuh pemerintah dalam menyikapi Perang Rusia-Ukraina selama ini.
"Kehati-hatiannya kita punya kepentingan untuk tetap bisa menghadirkan semua pihak anggota G20. Kita tahu salah satu anggota G20 itu adalah Rusia. Mengundang Rusia dinyatakan oleh pemerintah sebagai langkah tegas Indonesia, namun Indonesia juga berhadapan dengan oposisi Amerika terhadap langkah Indonesia itu," ujar Nanto.
Menurut Nanto, sikap abstain itu bermakna bahwa Indonesia tidak pernah setuju dengan langkah Rusia yang menginvasi Ukraina dan menyebabkan jatuhnya korban sipil.
Nanto menambahkan Amerika juga pernah keluar dari Dewan HAM PBB karena menganggap Dewan HAM PBB terlalu keras terhadap Israel.
Pemerintah Indonesia melihat perlunya gencatan senjata untuk menghindari jatuhnya korban sipil yang semakin meningkat. Indonesia memandang penangguhan keanggotaan Rusia akan membuat Rusia menjadi pasif. Indonesia menilai Rusia mestinya tetap diberi peran untuk aktif menyuarakan versi mereka.
Nanto menegaskan kehati-hatian sikap Indnesia ini karena pemerintah tidak ingin terjebak dalam konflik geopolitik antara Rusia dengan negara-negara Barat. Tapi di sisi lain, Indonesia tidak mau korban sipil terus berjatuhan.
Dia berharap sikap abstain itu tidak menurunkan citra, kredibilitas dan komitmen Indonesia terhadap penegakan HAM. [fw/ab]