TV pemerintah Myanmar mengatakan 628 orang yang dipenjara karena memprotes kudeta bulan lalu telah dibebaskan.
Sejumlah saksi mata di luar Penjara Insein di Yangon, Rabu (24/3), melihat ratusan orang -- kebanyakan orang muda – ke luar dari penjara itu. Mereka terlihat senang dan beberapa di antara mereka menunjukkan salam tiga jari, sebuah ekspresi pembangkangan yang diadopsi oleh gerakan protes.
Para tahanan tampaknya adalah para mahasiswa yang ditahan pada awal Maret saat berdemonstrasi menentang kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Sementara itu, pada hari yang sama, jurnalis Associated Press Thein Zaw dan beberapa wartawan lainnya yang didakwa melanggar undang-undang ketertiban umum saat meliput protes antikudeta di Myanmar kembali ke pengadilan.
Ini adalah sidang kedua bagi para jurnalis, yang ditangkap pada 27 Februari, dan menghadapi ancaman hukuman tiga tahun di balik jeruji besi.
Sekitar 40 jurnalis telah ditahan sejak kudeta, dan sekitar setengah dari mereka masih ditahan hingga saat ini, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar. Tujuh jurnalis, termasuk Thein Zaw, ditangkap pada 27 Februari.
Pihak berwenang juga membatalkan izin operasi lima media setempat yang secara ekstensif meliput aksi protes tersebut. Mizzima, Suara Demokratik Burma, Khit Thit Media, Myanmar Now dan 7Day News terus beroperasi meskipun dilarang menyiarkan atau menerbitkan laporan mereka di platform media apa pun.
Associated Press dan banyak organisasi kebebasan pers telah menyerukan pembebasan Thein Zaw dan para jurnalis lain yang ditahan.
“Jurnalis independen harus diizinkan untuk dengan bebas dan aman melaporkan berita tanpa takut akan pembalasan, '' kata Ian Phillips, wakil presiden Associated Press untuk berita internasional, setelah penangkapan para wartawan itu. “Associated Press dengan keras mengecam penangkapan sewenang-wenang Thein Zaw."
Pemerintah AS, selain mengkritik kudeta dan tindak kekerasan pasukan keamanan Myanmar, telah mendukung kebebasan pers di negara Asia Tenggara tersebut.
Wartawan sering mendapat perlakuan buruk di Myanmar. Bahkan selama pemimpin terguling Aung San Suu Kyi menjabat, wartawan kerap menjadi sasaran terkait liputan mereka.
Dua jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Reuters ditangkap pada 2017 saat menggarap berita tentang kekerasan militer terhadap kelompok minoritas Rohingya di Myanmar. Mereka dituduh memiliki dokumen pemerintah secara ilegal dan dijatuhi hukuman tujuh tahun sebelum dibebaskan pada 2019 sewaktu presiden negara itu memberikan pengampunan massal.
Hingga Rabu, hari ke-51 berturutan sejak kudeta militer, aksi protes masih berlangsung di Myanmar. Ribuan orang di Myanmar kali ini lebih memilih melakukan aksi pemogokan "diam-diam".
Para aktivis prodemokrasi mendesak orang-orang untuk tinggal di rumah dan tidak mengurus bisnis apa pun untuk hari itu, sebuah taktik baru yang dirancang untuk menghindari tanggapan militer yang semakin mematikan terhadap demonstrasi harian.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan setidaknya 275 orang telah terbunuh oleh pasukan militer sejak kudeta. Salah satu dari mereka yang tewas adalah seorang bocah perempuan berusia 7 tahun yang tertembak, Selasa (23/3), ketika sejumlah tentara masuk ke rumahnya di Mandalay, menurut Myanmar Now dan Reuters.
Anak itu dilaporkan sedang duduk di pangkuan ayahnya ketika para tentara itu masuk dan menuntut untuk mengetahui apakah semua anggota keluarga tersebut ada di rumah. Ayahnya mengiyakan, tetapi tentara menuduhnya berbohong dan melepaskan tembakan, yang mengenai bocah itu. [ab/uh]