Api yang berkedip-kedip dari kertas, kain bekas, dan ranting yang dibakar adalah satu-satunya sumber panas yang ditawarkan Gulnaz untuk membuat putranya yang berusia 18 bulan tetap hangat. Bocah itu sendiri nyaris tidak kelihatan karena terbungkus selimut tebal ketika ibunya mengemis di sebuah jalan raya yang sangat dingin yang mengarah ke Kabul.
Jalan raya sepanjang 70 kilometer ini diapit oleh perbukitan yang tertutup salju. Kadang-kadang seorang pengemudi memperlambat mobilnya dan memberi selembar uang kertas Afghan ke tangan telanjang wanita berusia 28 tahun itu.
Ia duduk berjam-jam di median jalan raya itu, seolah waktu tidak ada artinya. Saudara perempuannya yang berusia 16 tahun, Khalida, duduk di dekatnya. Keduanya sama-sama mengenakan burqa warna biru tua.
Di penghujung hari, Gulnaz, yang hanya bersedia menyebutkan nama panggilannya, mengatakan, ia dan saudaranya mungkin bisa menghasilkan sekitar 300 afghani (atau sekitar hampir 3 dolar) kalau sedang beruntung.
“Kami tidak punya pemanas ruangan di rumah, anak-anak saya tidak punya apa-apa untuk dimakan, mereka hidup dalam kelaparan, ini musim dingin, dan kami tidak punya kayu bakar untuk menghangatkan diri. Kami tidak punya apa-apa di rumah. Setiap hari, tanpa memedulikan hujan atau turun salju, kami datang dan duduk di sini."
Gulnaz hanyalah salah satu dari jutaan warga Afghanistan yang hidup sengsara di negara itu. Pada tahun 2020 saja, ada sekitar 700.000 warga Afghanistan yang hidup dalam kondisi putus asa di pinggiran kota, di taman dan ruang terbuka, di mana pun mereka dapat membangun gubuk-gubuk darurat.
Gulnaz bermigrasi ke provinsi Logar, Afghanistan Tengah, dari provinsi Kunduz, di Afghanistan Utara, tempat suaminya bekerja sebagai pembuat sepatu. Tapi pekerjaan itu musnah karena perang dan kedatangan Taliban. Ia dan saudara perempuannya akhirnya memutuskan diri pergi mengemis di jalan raya yang menghubungkan ibu kota Logar, Pul-e-Alam, dengan Kabul.
Di Pul-e-Alam, di mana suhu pada bulan Januari dan Februari bisa turun ke titik terendah, yakni minus16 derajat Celcius, Gulnaz dan ribuan lelaki dan perempuan lainnya biasa mengantre dalam cuaca yang sangat dingin untuk mendapatkan bantuan makanan berupa tepung, minyak, garam dan lentil dari Program Pangan Dunia (WFP).
Perebutan kekuasaan oleh Taliban di Afghanistan pada Agustus lalu mendorong bantuan internasional bernilai miliaran dolar terganjal masuk. Akibatnya, negara yang sudah sangat miskin itu, yang dirusak oleh perang, kekeringan dan banjir, harus bersiap menghadapi bencana kemanusiaan.
Dalam beberapa pekan terakhir, ketika musim dingin berlangsung, organisasi-organisasi bantuan internasional berjuang keras untuk menyelamatkan jutaan orang dari kelaparan atau kedinginan meski dana terbatas.
Bagi mereka yang paling miskin, satu-satunya pemanas atau bahan bakar untuk keperluan memasak adalah batu bara atau kayu yang dapat mereka peroleh dari jalanan bersalju atau yang mereka terima dari kelompok-kelompok bantuan.
Shelley Thakral, juru bicara WFP di Afghanistan, mengatakan, "Tingkat masalah yang sekarang dihadapi rakyat Afghanistan benar-benar sangat memprihatinkan. Kami berpacu dengan waktu. Kami harus pergi ke keluarga-keluarga yang berada di daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau. Saat ini musim dingin, dan ada salju."
Biaya upaya kemanusiaan ini tidak sedikit. Thakral mengatakan WFP sendiri akan membutuhkan 2,6 miliar dolar tahun ini.
"Jika Anda merinci jumlah itu, itu adalah $220 juta per bulan, tapi itu 30 sen per orang per hari, dan itulah yang kami minta. Kami membutuhkan uang itu karena kami perlu menjangkau orang-orang secepat mungkin."
Awal bulan ini, PBB meluncurkan seruan bantuan terbesarnya untuk satu negara senilai lebih dari $5 miliar. Diperkirakan sekitar 90 persen dari 38 juta orang Afghanistan sangat bergantung pada bantuan itu.
Setiap hari selama seminggu di bulan ini WFP membagikan jatah kepada hingga 500 keluarga dalam sehari, kata Hussain Andisha, manager distribusi badan tersebut.
Andisha mengatakan distribusi Januari akan menyediakan bahan pokok untuk kebutuhan 2.250 keluarga di Pul-e-Alam, ibu kota Logar yang berpenduduk sekitar 23.000 orang.
Pemerintahan Taliban di Logar tidak ikut campur dalam upaya bantuan WFP namun ikut mengamankan tempat-tempat distribusi. [ab/uh]