Saif al-Ddin Fara dan keluarganya yang terdiri dari sembilan orang melarikan diri dari rumah mereka di kota Haradh hampir lima tahun yang lalu. Mereka mengungsi ke pinggiran kota Sanaa karena ingin menghindari bentrokan kekerasan antara kelompok pemberontak Houthi dan militer Arab Saudi di perbatasan utara Yaman dengan Arab Saudi.
Tahun demi tahun berlalu, hanya kesengsaraan demi kesengsaraan yang mereka hadapi. Mereka memang berhasil menghindari kemungkinan terluka atau tewas di kampung halaman mereka, namun kini terjebak di tempat penampungan yang sangat menyengsarakan.
Fara dan keluarganya terpaksa tinggal di kamp pengungsi yang dari hari ke hari semakin penuh sesak, semakin kotor, dan bahkan makin berbahaya. Salah satu hal yang paling memprihatinkan adalah ketidaktersediaan toilet dan kamar mandi.
"Kami adalah kelompok rentan yang tinggal di kamp-kamp tanpa toilet. Setiap orang, termasuk anak dan perempuan, tidak dapat buang air besar setiap saat dan tidak dapat mandi. Beberapa dari kami, terutama perempuan, terpaksa buang air besar ke dalam kantong plastik di dalam tenda. Kami membutuhkan toilet karena aman bagi lingkungan dan kesehatan tetapi kami tidak memiliki apa-apa. Toilet sangat dibutuhkan untuk kelompok rentan ini."
Fara mengatakan, untuk buang air besar, para pengungsi perempuan terpaksa pergi ke selokan dekat sebuah jalan di luar lokasi kamp mereka. Itu pun terpaksa mereka lakukan hanya pada malam hari mengingat begitu terbukanya tempat itu. Tidak hanya itu, karena begitu banyaknya yang ingin buang air besar, tak jarang antrian yang muncul bisa hingga 50 orang.
Jamal Ali Othman, seorang pengungsi lain, menyuarakan keprihatinan serupa. "Kami tinggal di sini tanpa kamar mandi. Lelaki mandi di luar ruangan sementara perempuan mandi di dalam tempat penampungan. Kami menderita karena kurangnya kebersihan, kurangnya akses ke toilet, tidak ada air bersih. Kondisi ini menyebabkan penyebaran penyakit seperti kolera, campak, kulit gatal dan kudis," jelasnya.
Situasi yang lebih memprihatinkan dirasakan mereka yang lanjut usia, seperti Matarah Ali yang sudah berumur di atas 70 tahun. Ia tidak memiliki anak, dan terpaksa hidup sendiri di kamp pengungsi.
"Saya tinggal sendiri di sini. Suami saya masih di Hodeidah. Saya terpaksa menggunakan popok atau kantung plastik untuk buang air karena saya tidak bisa berjalan jauh hingga ke luar kamp. Sejak saya tiba di sini sekitar setahun lalu, saya belum pernah mandi.” [ab/uh]