Tumbuh besar di pinggiran ibukota Afghanistan, Mahmud Hassani dan adiknya Massoud melihat sendiri kehancuran akibat ranjau darat bagi siapa saja yang tak sengaja menginjaknya.
Ingatan atas kehancuran akibat ranjau-ranjau darat yang tertinggal dari periode 1980an itu lah -- ketika para pemberontak Afghanistan melawan pasukan Soviet -- yang menginspirasi kakak beradik itu untuk mengembangkan prototipe pesawat nirawak untuk mendeteksi dan menghancurkan alat-alat peledak itu.
Penemuan mereka ditampilkan Rabu (14/12) di NT100, daftar badan amal Nominet Trust di Inggris berisi inovasi-inovasi yang memakai teknologi untuk menanggulangi masalah-masalah besar dunia.
"Bagi kami saat itu, itu adalah normal. Bagi kami itu tempat bermain dengan ranjau darat," ujar Mahmud Hassani, mengenang lahan dekat rumah masa kecilnya tempat ia dan anak-anak lain bermain.
Hassani mengatakan pesawat nirawak Mine Kafon dirancang untuk memetakan, mendeteksi dan meledakkan ranjau.
Dilengkapi dengan sistem pemetaan tiga dimensi, pesawat nirawak itu menemukan ranjau-ranjau dengan detektor logam. Menggunakan tangan robotik, pesawat itu memasang alat peledak kecil di atasnya sebelum menyalakan alat itu dari jarak jauh.
Diperkirakan sekitar 10 juta ranjau darat telah ditanam di Afghanistan, yang pada tahun 2015 mencatat jumlah kematian terkait ranjau darat tertinggi di dunia, dengan 1.310 orang tewas atau terluka, menurut Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat (ICBL).
Secara keseluruhan, 6.461 orang tewas atau terluka oleh ranjau darat, alat peledak yang diaktivasi korban dan senjata-senjata yang tidak meledak sisa-sisa perang di seluruh dunia tahun 2015, ujar ICBL bulan lalu.
Lebih dari tiga perempat korban adalah warga sipil, 38 persen di antaranya anak-anak.
Hassani, yang tinggal di Belanda dengan abangnya, mengatakan bahwa prototipe pesawat nirawak mereka 120 kali lebih murah dan 20 kali lebih cepat daripada teknik-teknik pembersihan ranjau tradisional.
Pesawat itu juga tidak berisiko untuk manusia, tambahnya. [hd]