Kekuatan populis muncul kembali dengan kekuatan lebih besar di Eropa pada tahun 2018, merebut kekuasaan di Italia dan memperluas kekuasaan mereka di negara-negara seperti Hungaria dan Polandia. Di Perancis, protes-protes jalanan menuntut pengunduran diri presiden. Gelombang populis mungkin memiliki implikasi besar dalam pemilihan parlemen Eropa yang dijadwalkan pada tahun mendatang di mana garis tengah politik sekarang menghadapi serangan dari kanan dan kiri.
Pada akhir tahun 2018, populisme di Eropa menunjukkan warna baru: kuning. Gerakan 'gilet jaune' atau 'rompi kuning' muncul di Perancis sebagai protes terhadap pajak bahan bakar dan berkembang menjadi demonstrasi nasional.
"Orang-orang di sini adalah orang biasa, bukan hanya orang-orang yang berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan diri mereka," ujar Jean-Francois, seorang demonstran.
Presiden Emmanuel Macron – yang sebelumnya dipandang sebagai orang yang mampu menghentikan arus populisme – menyerah dan menunda kenaikan pajak. Signifikansinya: populisme kembali sebagai kekuatan politik.
Tetapi populisme tahun 2018 menunjukkan satu perbedaan. Kelompok ekstrem kanan dan ekstrem kiri berdemo bersama.
Grégory Claeys analis di Bruegel Policy Institute mengatakan, "Kita dulu melihat populisme sayap kanan terutama di Eropa Timur, dan itu karena ketakutan akan migrasi dan masalah identitas semacam ini, sementara kita memiliki lebih banyak populisme sayap kiri di selatan Eropa karena ini adalah wilayah yang lebih terpengaruh oleh krisis keuangan, oleh krisis euro, dan sebagainya. Jadi mereka agak terpisah. Tetapi sekarang Anda melihat bahwa di negara-negara seperti Italia dan Perancis, Anda melihat keduanya pada saat yang bersamaan.”
Persatuan itu dibentuk secara resmi di Italia – di mana Gerakan Bintang Lima sayap kiri dan Partai Liga ekstrem kanan membentuk pemerintahan koalisi pada bulan Mei. Tujuan bersama mereka - menghentikan aliran migran yang datang ke pantai Italia dan mengakhiri pemotongan anggaran belanja. Ini telah membuat Roma bentrok dengan Uni Eropa.
Menghadapi guncangan politik itu, Uni Eropa telah memperingatkan bahwa kebebasan dasar sedang diserang.
Antonio Tajani, Presiden Parlemen Eropa mengatakan, “Kita hidup di dunia yang ditandai dengan kelahiran kembali kekuatan populis dan narasi-narasi destruktif.”
Tetapi kaum populis memiliki saingan. Partai Hijau pro-Eropa telah muncul sebagai kekuatan di Jerman - menggeser partai ekstrem kanan 'Alternatif untuk Jerman' ke posisi keempat. Di Hungaria protes jalanan digelar untuk menentang pemerintah populis Viktor Orban. Keretakan politik Eropa dapat berdampak besar bagi pemilihan Parlemen Eropa yang dijadwalkan pada Mei 2019.
Setelah memperluas pengaruh di beberapa ibukota Eropa, pada tahun 2019 kekuatan populis akan berusaha merebut tuas kekuasaan Uni Eropa itu sendiri. [as]