LONDON —
Pihak berwenang di Indonesia mengatakan 189 pencari suaka diselamatkan dari sebuah kapal yang tenggelam di sebuah pantai di Jawa Barat, Selasa (23/7). Petugas penjaga pantai mengatakan sedikitnya sembilan orang tewas.
Lelah dan dehidrasi, para penyintas itu kemudian dibawa ke tempat penampungan di desa Cidaun, dekat Cianjur, Jawa Barat. Banyak di antara mereka adalah anak-anak dan perempuan.
Sebagian besar penyintas mengatakan mereka berasal dari Irak, Iran dan Sri Lanka. Kapal mereka berlayar dari Papua Nugini menuju Pulau Christmas, wilayah Australia.
Minggu lalu, Australia menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa para pencari suaka yang tiba dengan kapal akan dikirim ke Papua Nugini. Perdana Menteri Kevin Rudd mengatakan bangkai kapal pada Selasa tersebut membuktikan perlunya kebijakan yang keras.
"Hal ini menggarisbawahi kebutuhan akan perubahan-perubahan kebijakan di Australia terkait pencari suaka, yang mengirimkan pesan sangat jelas bagi penyelundup manusia untuk berhenti mengirimkan orang dengan kapal ke Australia. Kami melihat terlalu banyak orang yang tenggelam, kapal yang karam, terlalu banyak orang hilang di laut," ujarnya.
Sebelumnya, kapal yang membawa migran tiba di Pulau Christmas pada 20 Juli. Para pencari suaka itu merupakan rombongan pertama yang aplikasinya diproses di Papua Nugini di bawah perjanjian baru.
Perjanjian itu sendiri telah memicu gelombang protes.
“Mereka akan ditahan tanpa batas waktu yang jelas. Kami tidak tahu berapa lama prosesnya akan terjadi. Jadi kami sangat khawatir dengan (para pencari suaka) ini. Selain itu, kami juga prihatin karena secara efektif Australia tebang pilih dalam melakukan kewajiban-kewajiban internasionalnya," ujar Livio Zilli, pengacara pengungsi dari Amnesty International.
Gubernur Provinsi Oro di Papua Nugini, Gary Juffa, mempertanyakan apa yang didapat oleh negaranya dari perjanjian tersebut.
"Dengan menerima ini, kita melakukan apa yang diperintahkan oleh pemerintah Australia atau apakah kita melakukannya karena merasa kita membantu Australia? Jika demikian, berapa biayanya, apa yang harus dibayar, dan apa manfaatnya?" tanyanya.
Australia akan mendanai perluasan besar dari pusat penahanan Manus di Papua Nugini. Sebuah laporan PBB baru-baru ini menemukan kekurangan besar di tempat itu. Zilli dari Amnesty International mengatakan Australia harus mengubah kebijakannya.
"Semua orang yang datang, tidak masalah bagaimana mereka tiba di Australia atau di pantai Australia harus diberikan akses efektif untuk prosedur status pengungsi di daratan Australia," ujarnya.
Pemerintah Australia mengatakan lebih dari 15.000 pencari suaka telah tiba dengan kapal di wilayah Australia tahun ini. Sejak 2001, sekitar 1.000 orang telah tewas dalam perjalanan.
Pemerintah Australia telah membuat video-video daring dalam beberapa bahasa, termasuk Farsi dan Vietnam, memperingatkan para migran bahwa mereka tidak akan diterima tinggal di Australia jika tiba dengan kapal.
Lelah dan dehidrasi, para penyintas itu kemudian dibawa ke tempat penampungan di desa Cidaun, dekat Cianjur, Jawa Barat. Banyak di antara mereka adalah anak-anak dan perempuan.
Sebagian besar penyintas mengatakan mereka berasal dari Irak, Iran dan Sri Lanka. Kapal mereka berlayar dari Papua Nugini menuju Pulau Christmas, wilayah Australia.
Minggu lalu, Australia menandatangani perjanjian yang menyatakan bahwa para pencari suaka yang tiba dengan kapal akan dikirim ke Papua Nugini. Perdana Menteri Kevin Rudd mengatakan bangkai kapal pada Selasa tersebut membuktikan perlunya kebijakan yang keras.
"Hal ini menggarisbawahi kebutuhan akan perubahan-perubahan kebijakan di Australia terkait pencari suaka, yang mengirimkan pesan sangat jelas bagi penyelundup manusia untuk berhenti mengirimkan orang dengan kapal ke Australia. Kami melihat terlalu banyak orang yang tenggelam, kapal yang karam, terlalu banyak orang hilang di laut," ujarnya.
Sebelumnya, kapal yang membawa migran tiba di Pulau Christmas pada 20 Juli. Para pencari suaka itu merupakan rombongan pertama yang aplikasinya diproses di Papua Nugini di bawah perjanjian baru.
Perjanjian itu sendiri telah memicu gelombang protes.
“Mereka akan ditahan tanpa batas waktu yang jelas. Kami tidak tahu berapa lama prosesnya akan terjadi. Jadi kami sangat khawatir dengan (para pencari suaka) ini. Selain itu, kami juga prihatin karena secara efektif Australia tebang pilih dalam melakukan kewajiban-kewajiban internasionalnya," ujar Livio Zilli, pengacara pengungsi dari Amnesty International.
Gubernur Provinsi Oro di Papua Nugini, Gary Juffa, mempertanyakan apa yang didapat oleh negaranya dari perjanjian tersebut.
"Dengan menerima ini, kita melakukan apa yang diperintahkan oleh pemerintah Australia atau apakah kita melakukannya karena merasa kita membantu Australia? Jika demikian, berapa biayanya, apa yang harus dibayar, dan apa manfaatnya?" tanyanya.
Australia akan mendanai perluasan besar dari pusat penahanan Manus di Papua Nugini. Sebuah laporan PBB baru-baru ini menemukan kekurangan besar di tempat itu. Zilli dari Amnesty International mengatakan Australia harus mengubah kebijakannya.
"Semua orang yang datang, tidak masalah bagaimana mereka tiba di Australia atau di pantai Australia harus diberikan akses efektif untuk prosedur status pengungsi di daratan Australia," ujarnya.
Pemerintah Australia mengatakan lebih dari 15.000 pencari suaka telah tiba dengan kapal di wilayah Australia tahun ini. Sejak 2001, sekitar 1.000 orang telah tewas dalam perjalanan.
Pemerintah Australia telah membuat video-video daring dalam beberapa bahasa, termasuk Farsi dan Vietnam, memperingatkan para migran bahwa mereka tidak akan diterima tinggal di Australia jika tiba dengan kapal.