JAKARTA —
Bermimpi untuk hidup lebih baik di Australia, 18 orang dari etnis Rohingya asal Burma, hidup terlunta-lunta di Medan dan Bogor, sebelum akhirnya ditampung di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta sejak beberapa hari lalu.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yuanita, meminta pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius terhadap para pengungsi dan pencari suaka termasuk 18 orang muslim Rohingya tersebut.
Perlindungan dan perhatian, lanjut Yuanita, harus diberikan kepada mereka karena saat ini para pencari suaka itu tidak bisa bekerja, tidak mendapatkan hak pendidikan maupun hak atas kesehatan padahal sebagian dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
YLBHI dan LBH Jakarta kata Yuanita akan bertemu dengan Badan PBB untuk permasalahan pengungsi (UNHCR) dalam waktu dekat. Pihaknya, tambah Yuanita juga akan meminta penjelasan pasti tentang tindakan yang bisa dilakukan PBB untuk melindungi mereka agar memperoleh perlakuan yang lebih layak.
Selain itu, kedua lembaga itu juga akan menemui pejabat di Kementerian Hukum dan HAM serta imigrasi Indonesia untuk memperjelas nasib 18 pencari suaka tersebut.
“Mereka tidak bisa bekerja, tidak bisa mendapatkan pendidikan, tidak bisa mendapatkan hak kesehatan, bahkan mereka dikejar-kejar oleh petugas imigrasi karena dinilai sebagai imigran gelap,” ujarnya.
“Kami berharap, asumsi (imigran gelap) itu tidak ada bagi mereka. Bahwa mereka pencari suaka, mereka butuh diberikan perhatian dan perlindungan di Indonesia. Kami saat ini sedang berencana mencari bala bantuan. Pihak-pihak yang mau memberikan bantuan berupa tempat tinggal yang layak,bantuan logistik dan bantuan lainnya.”
Pengungsi dari etnis Rohingya yang ditampung YLBHI itu terdiri dari enam perempuan dewasa, empat laki-laki dewasa dan delapan anak-anak.
Salah satu dari mereka, Muhammad Hanif mengatakan, ia dan keluarganya telah lama tinggal di Malaysia dan telah mendapatkan status dari UNHCR sebagai pencari suaka tetapi hinggga kini belum juga diberangkatkan ke Australia.
Untuk itu, lanjut Hanif, ia dan keluarganya berusaha sendiri. Menurut Hanif, keluarganya sangat ingin hijrah ke Australia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Demi impian itu, mereka melakukan perjalanan darat melalui 'jalur tikus' ke Malaysia, sebelum naik kapal ke Sumatera Utara dan menuju Medan.
Di Medan, Hanif mengaku bertemu seseorang yang berjanji dapat membawa mereka berangkat ke Australia dengan meminta uang 5.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 15,7 juta) untuk setiap orang. Tetapi karena tidak memiliki uang, Hanif dan sanak saudaranya hanya mampu membayar secara keseluruhan 42 ribu ringgit.
Setelah mendapatkan uangnya, mereka dibawa ke Bogor dan diserahkan ke pihak lain. Di Bogor,mereka tidak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Mereka bisa sampai ke Jakarta karena dibantu seseorang.
“Keluarga saya yang lain sudah sampai ke Australia. Kami ingin seperti orang lain, ingin memiliki negara. Untuk anak-anak kami juga,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan Australia untuk mengadakan pertemuan terkait masalah penyelundupan manusia, dengan perwakilan dari negara-negara asal pengungsi seperti Afghanistan, Iran dan Myanmar.
“Kita ingin negara-negara ini duduk bersama dan secara serius mencari solusinya. Semua pihak harus ikut bertanggung jawab dan harus melakukan tindakan yang konkret. Tidak adil jika ini hanya dibebankan kepada Indonesia dan Australia,” ujar Presiden Yudhoyono.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yuanita, meminta pemerintah Indonesia memberikan perhatian serius terhadap para pengungsi dan pencari suaka termasuk 18 orang muslim Rohingya tersebut.
Perlindungan dan perhatian, lanjut Yuanita, harus diberikan kepada mereka karena saat ini para pencari suaka itu tidak bisa bekerja, tidak mendapatkan hak pendidikan maupun hak atas kesehatan padahal sebagian dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
YLBHI dan LBH Jakarta kata Yuanita akan bertemu dengan Badan PBB untuk permasalahan pengungsi (UNHCR) dalam waktu dekat. Pihaknya, tambah Yuanita juga akan meminta penjelasan pasti tentang tindakan yang bisa dilakukan PBB untuk melindungi mereka agar memperoleh perlakuan yang lebih layak.
Selain itu, kedua lembaga itu juga akan menemui pejabat di Kementerian Hukum dan HAM serta imigrasi Indonesia untuk memperjelas nasib 18 pencari suaka tersebut.
“Mereka tidak bisa bekerja, tidak bisa mendapatkan pendidikan, tidak bisa mendapatkan hak kesehatan, bahkan mereka dikejar-kejar oleh petugas imigrasi karena dinilai sebagai imigran gelap,” ujarnya.
“Kami berharap, asumsi (imigran gelap) itu tidak ada bagi mereka. Bahwa mereka pencari suaka, mereka butuh diberikan perhatian dan perlindungan di Indonesia. Kami saat ini sedang berencana mencari bala bantuan. Pihak-pihak yang mau memberikan bantuan berupa tempat tinggal yang layak,bantuan logistik dan bantuan lainnya.”
Pengungsi dari etnis Rohingya yang ditampung YLBHI itu terdiri dari enam perempuan dewasa, empat laki-laki dewasa dan delapan anak-anak.
Salah satu dari mereka, Muhammad Hanif mengatakan, ia dan keluarganya telah lama tinggal di Malaysia dan telah mendapatkan status dari UNHCR sebagai pencari suaka tetapi hinggga kini belum juga diberangkatkan ke Australia.
Untuk itu, lanjut Hanif, ia dan keluarganya berusaha sendiri. Menurut Hanif, keluarganya sangat ingin hijrah ke Australia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Demi impian itu, mereka melakukan perjalanan darat melalui 'jalur tikus' ke Malaysia, sebelum naik kapal ke Sumatera Utara dan menuju Medan.
Di Medan, Hanif mengaku bertemu seseorang yang berjanji dapat membawa mereka berangkat ke Australia dengan meminta uang 5.000 ringgit Malaysia (sekitar Rp 15,7 juta) untuk setiap orang. Tetapi karena tidak memiliki uang, Hanif dan sanak saudaranya hanya mampu membayar secara keseluruhan 42 ribu ringgit.
Setelah mendapatkan uangnya, mereka dibawa ke Bogor dan diserahkan ke pihak lain. Di Bogor,mereka tidak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Mereka bisa sampai ke Jakarta karena dibantu seseorang.
“Keluarga saya yang lain sudah sampai ke Australia. Kami ingin seperti orang lain, ingin memiliki negara. Untuk anak-anak kami juga,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan Australia untuk mengadakan pertemuan terkait masalah penyelundupan manusia, dengan perwakilan dari negara-negara asal pengungsi seperti Afghanistan, Iran dan Myanmar.
“Kita ingin negara-negara ini duduk bersama dan secara serius mencari solusinya. Semua pihak harus ikut bertanggung jawab dan harus melakukan tindakan yang konkret. Tidak adil jika ini hanya dibebankan kepada Indonesia dan Australia,” ujar Presiden Yudhoyono.