Setelah pembukaan penerbangan internasional ke Bali pada 14 Oktober lalu, hingga saat ini respons maskapai maupun wisatawan asing masih minim. Kewajiban karantina selama lima hari diduga menjadi faktor penentu.
Dalam pertemuan mingguan bersama media pada Senin (25/10) sore, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno mengakui kekosongan jadwal penerbangan internasional itu.
“Hingga saat ini belum ada penerbangan internasional ke Bali. Namun sudah ada beberapa permintaan, yang sedang dilakukan persiapan terakhir. Karena berkaitan dengan syarat-syarat, baik karantina maupun asuransi, dan juga mengenai penanganan timbal balik dari negara tersebut,” kata Sandi.
Meski begitu, Sandi mengaku tetap optimis. Dia menyebut, tingkat permintaan meningkat dan pertanyaan sebagai hasil sosialisasi dan promosi terus masuk. Artinya ada respons terhadap upaya pemerintah untuk kembali menggairahkan sektor pariwisata di Bali.
“Ada permintaan juga dari beberapa negara, seperti Australia dan Singapura, untuk membuka diskusi. Dan tentunya keseluruhan proses itu kita lakukan lintas kementerian dan lembaga, agar kita lakukan semua dalam koordinasi, dan realisasinya bisa kita lakukan secara bertahap, bertingkat dan berkelanjutan,” tambahnya.
Kaji Sejumlah Langkah
Hingga lebih sepuluh hari setelah pembukaan, Sandi mengatakan penyempurnaan regulasi terkait pintu masuk di bandara Bali terus ditingkatkan. Selain itu, pihaknya juga terus melakukan sinkronisasi data hotel karantina. Langkah ini melibatkan seluruh pihak, seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan Bali, Kementerian Kesehatan, dan Bali Tourism Board.
Kemenparekraf juga melakukan pembahasan kembali persoalan asuransi bersama Kementerian Koordinasi Bidang Maritim dan Investasi. Pemerintah telah menetapkan wisatawan asing yang datang ke Indonesia, harus memiliki asuransi dengan nilai pertanggungan $100 ribu. Jaminan tinggi ini dinilai penting untuk mengantisipasi jika wisatawan tersebut membutuhkan perawatan kesehatan, jika sesuatu terjadi.
Sandi juga menambahkan, pihaknya sedang melakukan sinkronisasi keputusan Satgas COVID-19 Nomor 15 tahun 2021, terkait karantina bagi wisatawan. Ada wacana apakah selama karantina, wisatawan dapat melakukan kegiatan di dalam resor atau villa yang ditunjuk.
“Kita juga sedang menyiapkan juga live onboard, yaitu karantina yang ada di dalam kapal Phinisi. Selain itu, skema pembayaran asuransi juga masih terus disempurnakan,” jelas Sandi yang tengah berada di Kaimana, Papua Barat.
Untuk memaksimalkan upaya ini, Kemenparekraf telah menggandeng biro perjalanan wisata di 19 negara. Selain itu, promosi juga gencar dilakukan melalui media kementerian dan penggalangan kampanye melalui tagar #itstimeforbali.
Durasi Karantina Faktor Penting
Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf, Nia Niscaya, juga meyakini minat untuk berkunjung ke Bali tetap tinggi. Salah satu ukurannya, adalah data pencarian di mesin pencari internet yang. Selain itu, Nia jua menyebut bahwa Kemenparekrat aktif berkomunikasi dengan para pelaku perjalanan. Minat itu dapat dibaca dari hasil kuisioner yang mereka sebarnya. Hanya saja, aturan terkait karantina memang masih menjadi ganjalan
“Memang yang menjadi kendala utama, adalah adanya keharusan karantina lima hari. Jadi ada dari Australia misalnya, mencoba meminta bolehkah karantina di-reduce menjadi dua hari,” kata Nia.
Tentu saja, Kemenparekraf berupaya meyakinkan seluruh pihak bahwa aturan yang ditetapkan didasarkan pada alasan kesehatan. Lima hari adalah diperhitungkan sebagai masa inkubasi virus COVID-19. Karena itu, pengecekan harus dilakukan pada periode tersebut.
Karena itulah, Kemenparekraf meyakini bahwa minat wisatawan asing ke Bali masih sangat tinggi. Jika belum ada kedatangan sampai saat ini, semata karena faktor aturan karantina. Para wisatawan kemungkinan masih menunggu, karena mungkin ada fleksibilitas.
“Karena dengan dasar, mereka sudah divaksin, sebelum berangkat sudah di PCR, dan ketika tiba juga di-swab PCR,” kata Nia.
Meski berat, Kemenparekraf meyakini bahwa para ahli yang memutuskan aturan karantina, memiliki pertimbangan yang matang.
“Tapi ini memang challenging, dibanding dengan kompetitor kita yang membebaskan tidak adanya karantina,” lanjutnya.
Bali Butuh Waktu
Pengamat pariwisata dari Universitas Warmadewa, Bali, I Made Suniastha Amerta, mengakui pembukaan penerbangan internasional adalah kebijakan yang ditunggu-tunggu masyarakat setempat.
Namun, Suniastha mengingatkan, langkah maju ini tidak serta merta mampu mengembalikan sektor pariwisata Bali. Di sisi lain, membuka pintu penerbangan internasional juga memiliki risiko, terkait kasus COVID-19. Bali yang saat ini sudah cukup terkendali, harus mampu bersikap hati-hati.
“Masyarakat, menurut saya tidak perlu terlalu euforia. Ini pasti take time. Perlu waktu untuk mengembalikan pariwisata Bali secara keseluruhan. Namun ini langkah positif yang sudah ditunggu-tunggu masyarakat,” ujarnya kepada VOA.
Ada sejumlah alasan yang dikemukakan Suniastha mengapa Bali membutuhkan waktu untuk pulihkan sektor pariwisata. Pertama, kata dia, adalah kondisi ekonomi global yang secara umum sedang mengalami gangguan. Keadaan ini tentu berdampak pada kemampuan wisatawan untuk mengalokasikan dana liburan, apalagi ke luar negara mereka. Alasan kedua, adalah karena setiap negara juga memberlakukan aturan bagi warganya untuk ke luar negeri.
“Katakanlah yang paling dekat dengan kita, Australia misalkan. Saya tidak yakin kalau mereka begitu saja langsung datang, dengan segala ketentuan dan syarat dari negara mereka. Tidak mungkin mereka abaikan syarat-syarat ketat di sana, untuk datang ke Bali,” tandasnya.
Selain itu, alasan ketiga adalah karena COVID-19 sendiri yang sangat tidak dapat diprediksi. Kondisi suatu wilayah dapat berubah dari waktu ke waktu. Tentu akan menjadi pertimbangan bagi wisatawan, bagaimana Bali mampu mengelola pandemi ini dengan baik.
Jika semua berjalan dengan lancar, Suniastha menyebut akhir tahun ini sebagai kesempatan emas bagi Bali untuk mulai pulih. Sudah menjadi tradisi bahwa akhir tahun merupakan musim puncak kedatangan wisatawan. Waktu yang tersisa dapat dimaksimalkan untuk menjadikan peak season nanti sebagai tonggak kebangkitan.
“Pemerintah Bali sudah melakukan yang terbaik. Semua standar kesehatan dari WHO dijadikan acuan. Kita sudah lakukan semua secara maksimal. Saya berharap, mereka mau berkunjung lagi menikmati Bali seperti pengalaman mereka sebelumnya,” lanjut Suniastha. [ns/ab]