Kondisi ABZ, siswi SMP berusia 14 tahun yang dibully dan diduga diserang secara seksual oleh 12 siswi SMA, mulai membaik setelah dirawat di rumah sakit pasca insiden mengerikan Jumat lalu (5/4). Salah seorang netizen yang menjenguknya di rumah sakit, menulis di Instagram tentang kondisi ABZ ini dengan mengutip pernyataannya “senang dijenguk rame-rame.”
ABZ, dikeroyok dan diduga diserang secara seksual karena masalah asmara. Pihak keluarga sempat menunda beberapa hari sebelum melaporkan kasus ini kepada polisi karena berbagai pertimbangan. Pemeriksaan yang dilakukan polisi terhadap 12 pelaku, terutama tiga pelaku, yang justru diabadikan pelaku dalam video pendek, menuai kecaman luas. Termasuk pernyataan Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah KPPAD Kalimantan Barat yang seakan-akan menyiratkan seruan damai diantara pelaku dan korban.
KPPAD Bantah Minta Korban & Pelaku “Damai”
Dihubungi melalui telpon Rabu pagi (10/4), Ketua KPPAD Kalbar Eka Nurhayati Ishaq mengatakan banyak yang salah menerjemahkan arti kata “damai” yang dimaksud. “KPPAD Kalbar mengatakan kepada keluarga korban, terutama ibu korban, agar upaya hukum harus lanjut dan terus dikawal proses hukumnya,” ujar Eka.
Ditambahkannya, “namun mengingat pelaku yang masih berstatus anak di bawah umur dan masuk dalam kategori anak berhadapan dengan hukum, maka sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak No.11/2012 ada istilah diversi, ini yang kami masud, namun banyak disalahartikan netizen dan masyarakat.”
Proses diversi digunakan jika anak berhadapan dengan hukum. Jika gagal di tingkat kepolisian, maka diversi di tingkat kejaksaan. Jika gagal di kejaksaan, maka dilakukan diversi terakhir di pengadilan. Eka menggarisbawahi bahwa KPPAD baru diminta hadir pertama kali mendampingi korban di Mapolsek Pontianak Selatan hari Jumat (5/4) jam tiga siang, dan “dengan tegas mengatakan kepada korban, proses ini tetap kita kawal agar tuntas di jalur hukum karena ranah penegakan hukum bukan ranah KPPAD, melainkan pihak penyidik yakni Polresta Pontianak.”
Ombudsman: Proses Hukum Tidak di KPPAD/KPAI, Tapi di Kepolisian
Hal ini dibenarkan anggota Ombudsman Ninik Rahayu SH yang mengatakan “proses hukum tidak di KPPAD/KPAI, adanya di kepolisian.” Dihubungi VOA melalui telpon, Ninik menjelaskan bahwa sesuai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak SPPA, proses perlindungan dan rehabilitasi korban memang diawasi oleh KPAD, tetapi proses hukum terhadap pelaku berdasarkan SPPA.
“Menyebut nama korban sebenarnya juga sudah pidana,” tambahnya. Lebih jauh ia mendorong KPPAD/KPAI untuk “mendahulukan pemulihan korban dan memastikan pelaku tidak posting-posting di kantor polisi seperti yang beredar di Instagram.”
Menteri PPPA: Ada yang Luput dari Pengawasan Kita
Hingga Rabu siang, petisi online #JusticeForAudrey yang berisi seruan kepada pemerintah untuk menuntaskan kasus ABZ itu telah ditandatangani lebih dari 2,6 juta orang.
Menteri Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dalam keterangan tertulis yang diterima VOA menyatakan “sangat mengecam tindakan yang dilakukan pelaku,” terutama karena “bukan hanya korban yang masih berusia anak, pelaku juga masih anak-anak.”
Ditambahkannya, “Berarti ada yang keliru pada kita sebagai orang dewasa yang merupakan contoh bagi anak-anak. Ada yang luput dari pengawasan kita...” Ia menekankan bahwa “sebagai korban atau pun pelaku, mereka tetap anak-anak kita, yang sudah seharusnya kita lindungi dan kita luruskan jika berbuat salah.”
Sosiolog Nilai Kasus Pontianak Tunjukkan Lemahnya Parenting
Hal senada disampaikan Dr. Pinky Saptandari, sosiolog di Universitas Indonesia, yang menilai insiden ini merupakan indikasi “lemahnya parenting, kontrol orang tua dan pendidik, dan pengasuhan. Anak-anak tumbuh kembang dalam asuhan media sosial sebagai sumber rujukan perilaku.” Selain menyerukan untuk mengembalikan fungsi media sosial sebagai hal yang positif, Pinky menilai sudah merupakan kebutuhan mendesak untuk mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, memperkuat kembali jaringan untuk perlindungan dan pemenuhan hak anak, dan advokasi hingga pendampingan korban sebagai tanggungjawab bersama melindungi dan memenuhi hak anak.
Hingga laporan ini disampaikan KPPAD telah ikut mendampingi korban dengan melakukan terapi hypnoprana, dan akan dilanjutkan dengan psikologi klinis untuk melengkapi proses penyembuhan trauma. Sementara pelaku akan diproses dengan UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No.11/2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Semua pihak tidak boleh gegabah menangani kasus ini,” ujar Yohana, “agar memahami penyebab anak melakukan tindak penganiayaan.”
Lebih jauh Yohana mengatakan “jika anak akan dikembalikan pada orangtuanya, bukan hanya negara tetapi semua elemen, harus bersama-sama memonitor pola pengasuhan yang diterapkan.”
Kasus pengeroyokan dan dugaan serangan seksual tersebut kini ditangani Unit PPA Satreskrim Polresta Pontianak. [em]