Polda Jawa Tengah masih menelusuri aliran dana milyaran rupiah dua tersangka kasus dugaan penipuan yang dilakukan oleh “raja” dan “ratu” “Keraton Agung Sejagat” di Purworejo, Toto Santoso dan Fanni Aminadia. Direktur Reserse Kriminal Umum Direskrimum Polda Jawa Tengah, Kombes Budhi Haryanto, di Polresta Solo, Jumat (24/1) mengatakan jumlah korban dugaan penipuan kasus itu bertambah. Menurut Budhi, para korban masih banyak yang enggan melapor ke polisi karena rasa malu.
"Korban 'Keraton Agung Sejagat' saat ini bertambah satu. Jadi total sembilan yang melapor ke kami. Kesulitannya para korban yang belum melapor itu malu sudah jadi korban penipuan. Ya kalau malu itu kan sudah perasaan pribadi, ya silakan. Sembilan korban justru berani lapor karena merasa ditipu dan ingin uangnya kembali. Untuk jumlah saldo rekening sebesar 1,4 Miliar rupiah atas nama tersangka Toto, kita monitor dan dalami terus karena aliran uang itu asalnya sangat banyak, dari mana-mana sumbernya. Kita masih meneliti. Saya belum bisa menjelaskan karena masih pendalaman kasus," jelasnya.
Lebih lanjut Budhi menambahkan, seorang tersangka kasus tersebut yang mengajukan penagguhan penahanan ditolak karena polisi melihat kekhawatiran tersangka tersebut akan melarikan diri.
Kasus tersebut mencuat saat sejumlah orang, mantan pengikut 'kerajaan' tersebut mengungkap adanya penyerahan uang jutaan rupiah kepada 'raja' dan "ratu' “Keraton Agung Sejagat” ini. Polda Jawa Tengah menelusuri kasus dugaan penipuan ini. Rekening Toto mencapai 1,3 Miliar rupiah. Polisi mengusut kasus itu tidak hanya di Purworejo tetapi juga ditemukan puluhan pengikutnya di Klaten, Jawa Tengah.
Pasca munculnya “Keraton Agung Sejagat” di Purworejo. Di daerah lain juga ada klaim serupa antara lain “Sunda Empire” di Jawa Barat dan “Kerajaan Djipang” di Blora, Jawa Tengah. Kepolisian juga masih melakukan penelusuran kasus serupa.
Sementara itu, sejarawan dan juga budayawan dari Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Tunjung W. Sutirto justru mengamati fenomena maraknya klaim keraton baru di berbagai daerah tersebut. Menurut Tunjung yang juga aktif di Keraton Kasunanan Solo, para pengikut mereka justru dari kalangan generasi mapan secara ekonomi. Tunjung bahkan ingin menelisik cara pimpinan “keraton” baru itu dalam merekrut ratusan warga menjadi pengikutnya.
"Kan sebenarnya intelijen seharusnya sudah bisa mengendus kasus ini sejak lama. Pengikutnya sudah 500-an lho. Itu bukan angka kecil yang bisa diraih dalam waktu satu dua hari saja. Butuh waktu sangat lama untuk bisa meyakinkan seseorang untuk menjadi pengikut, meyakinkan bahwa raja keraton itu benar-benar punya 'kemampuan lebih dibanding manusia pada umumnya'. Lha ini justru legitimasi secara psikologis justru dilakukan kelompok mereka dalam merekrut warga sesuai kepentingannya. Bagi negara mungkin ini sebagai bentuk penipuan," jelasnya.
"Yang perlu digarisbawahi bahwa para pengikut “Keraton Agung Sejagat” ini dan keraton baru lainnya justru tidak ada dari generasi muda, pasti generasi yang sudah established, mapan secara ekonomi, ingin perubahan secara revolusi atau reformatif," imbuh Tunjung. [ys/lt]