Tim Ad Hoc Komnas HAM yang menyelidiki kasus dukun santet telah menuntaskan penyelidikan peristiwa pembunuhan di 3 kabupaten wilayah Jawa Timur pada periode 1998-1999. Ketua Tim, Beka Ulung Hapsara mengatakan, tim menyimpulkan bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM Berat dalam kasus tersebut yakni pembunuhan dan penganiayaan.
Menurut Beka, pembunuhan terjadi di 3 kabupaten di Jawa Timur yakni Banyuwangi dengan 194 orang, Jember 108 orang, Malang 7 orang. Berdasarkan keterangan saksi, para korban mengalami penganiayaan terlebih dahulu yang kemudian berujung kepada kematian.
"Kesimpulan kami ada bukti permulaan yang cukup. Misalnya terkait dengan pembunuhan, terus kemudian soal meluas dan sistematis. Melihat sebaran wilayah kejadian dan sistematisnya selalu pada masa dan isu, dan ini tidak bisa dilakukan oleh orang biasa," jelas Beka di kantor Komnas HAM, Jakarta, (14/1/2019).
Beka menambahkan tim juga menemukan pola dalam kasus dukun santet di Jawa Timur. Pola tersebut diawali dengan isu etnis Cina, radiogram bupati Banyuwangi, dan isu adanya tentara. Pola lainnya yaitu selalu melibatkan massa, bukan dari orang lokal, penggunaan tanda seperti panah dan silang, kemudian meningkat menjadi isu santet, ninja dan orang gila.
Di samping itu, tim juga menemukan adanya pembiaran yang dilakukan aparat dalam kasus ini. Pembiaran tersebut antara lain berbentuk keterlambatan dalam mengirim pasukan dan sedikitnya jumlah personel untuk mengatasi massa.
"Kita juga menemukan bahwa serangkaian peristiwa dalam kurun waktu tertentu ada rapat Muspida yang menghasilkan kebijakan untuk mengantisipasi supaya pembunuhan tersebut berhenti. Tetapi kemudian kita menemukan, aparat itu lambat untuk merespon laporan-laporan yang ada," imbuhnya.
Turut menambahkan, Wakil Ketua Tim, Mohammad Choirul Anam menjelaskan Komnas HAM telah menyerahkan laporan penyelidikan kasus pembunuhan orang yang diduga dukun santet ini kepada Kejaksaan Agung pada 14 November 2018 lalu. Ia berharap Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti kasus ini supaya cepat dilimpahkan ke pengadilan.
"Jangan mencontoh pengalaman buruk di dokumen-dokumen penyidik sebelumnya. Ini harus ditindaklanjuti, kasusnya dekat. Kalau dulu kan ngomongnya kasus 1965, kasusnya lama sekali. Kalau ini dekat dengan kita semua," jelas Choirul Anam.
Selain memberikan laporan ke Kejagung, Komnas HAM juga merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk meminta maaf kepada para korban dalam kasus ini. Pemerintah juga diminta memberikan upaya pemulihan-pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM.
VOA sudah beberapa kali berupaya menghubungi Kejaksaan Agung untuk meminta tanggapan soal laporan Komnas HAM dalam kasus ini. Namun nomor telepon otoritas berwenang yang dihubungi tidak kunjung menjawab. [Ab/em]