Barangkali tidak pernah terbersit di benak Doni Bimo Saptoto alias Abdul Ghani, ketua Majelis Pertimbangan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila Kabupaten Bantul, Yogyakarta, bahwa dirinya akan duduk di kursi terdakwa. Doni dilaporkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) kepada polisi.
Bulan Mei 2017 lalu, ketika Pusham UII menggelar rangkaian kegiatan pameran poster, lukisan dan diskusi, Ormas Pemuda Pancasila datang memaksa pembatalan kegiatan itu. Eko Riyadi, Direktur Pusham UII dalam persidangan menyatakan bahwa terdakwa Doni dan kawan-kawannya pada 8 Mei 2017 membongkar pameran yang telah disiapkan di kantornya. Kepada staf lembaga itu, para anggota ormas ini meminta seluruh kegiatan terkait hari Pers Internasional dihentikan.
“Ketika saya sampai di kantor, semua poster dan lukisan telah dilepas. Diskusi hari itu juga dihentikan. Padahal, rencana kegiatan akan berlangsung selama tiga hari, dengan diskusi penutup tentang penegakan HAM di Indonesia,” kata Eko Riyadi.
Dalam pameran itu, ada sekitar 30 poster dan lukisan karya seniman Andreas Iswinarto ditampilkan. Karya seni itu merefleksikan kondisi Indonesia saat ini, masalah penegakan HAM dan secara khusus mengingatkan tentang Wiji Thukul yang dinyatakan hilang hingga kini.
Baca juga: Ormas Paksa Penyelenggara Hentikan Pameran Kemerdekaan Pers di Yogya
Wiji Thukul adalah seniman yang aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat. Selama beraktivitas di Solo, Wiji Thukul terlibat dalam sejumlah demonstrasi melawan kebijakan pemerintah. Salah satu matanya cedera akibat kekerasan aparat keamanan dalam sebuah demo menentang pabrik tekstil di Solo. Wiji Thukul diduga ikut hilang bersama 12 aktivis pergerakan mahasiswa pada Juli 1998.
Atas keberanian polisi melakukan proses hukum pertama dalam kasus persekusi ini, Pusham UII berterimakasih dan memberikan penghargaan. Eko juga berharap, proses hukum ini menjadi pembelajaran bagi siapapun, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum. Karena itulah, ujar Eko, ketidaksetujuan atas kegiatan apapun yang dilakukan pihak tertentu seharusnya disalurkan melalui mekanisme yang ada, yaitu lewat kepolisian.
“Kita ini negara hukum, negara demokrasi, kebebasan berpendapat itu dijamin di dalam konstitusi. Sehingga semua pihak, mari kita saling menghormati. Saya sebagai orang Pusham UII juga akan menghormati hak mereka untuk menyatakan pendapat, bahwa mereka tidak setuju saya akan hormati pendapat mereka, tetapi saya tidak akan menggunakan kekerasan untuk menyatakan ketidaksetujuan,” jelasnya.
Sidang perkara ini telah bergulir dalam satu bulan terakhir. Dalam sidang hari Selasa, 6 Maret 2018, puluhan anggota Ormas Pemuda Pancasila nampak hadir di pengadilan. Berkat penjagaan polisi, seluruh proses persidangan berjalan lancar.
Budi Santosa, pengacara terdakwa Doni Bimo Saptoto menegaskan, kliennya ingin mencari keadilan melalui sidang di pengadilan ini. Menurut Budi, terdakwa adalah pemimpin ormas Pemuda Pancasila, yang mempunyai tujuan membela kebenaran. Ormas ini tidak menginginkan penyelenggaran kegiatan yang berbau komunis. Budi juga mengatakan, keterangan saksi-saksi dari pihak Pusham UII dalam persidangan itu tidak sesuai dengan fakta dan mengada-ada.
“Dari keterangan saksi, tidak sesuai dengan faktanya. Sifatnya mengada-ada. Sepertinya tidak sesuai dengan apa yang diketahui ketika kejadian. Ada kata-kata akan saya bakar, tempelan-tempelan itu akan dibakar terdakwa, padahal tidak seperti itu. Dan juga ada kata mendorong kepala, padahal yang dilakukan hanya menunjuk kepala,” kata Budi Santosa.
Meski menyandang predikat "City of Tolerance", persekusi relatif sering terjadi di Yogyakarta. Sejumlah acara pameran lukisan, pemutaran film, atau diskusi sering dibubarkan kelompok tertentu. Acara dengan isu terkait PKI dan komunisme secara umum, serta kegiatan dari kelompok marjinal seperti waria, paling sering menjadi sasarannya. [ns/ab]