Hasil riset Organisasi Perempuan Mahardhika menunjukkan buruh perempuan masih mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meskipun sudah ada Undang-undang Perlindungan KDRT sejak 15 tahun lalu. Kekerasan tersebut berupa kekerasan fisik, verbal, penyiksaan psikologis, penelantaran ekonomi, dan pengekangan interaksi sosial.
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan mulai dari awal September hingga Desember 2019 dengan mewawancarai 28 buruh yang menjadi korban KDRT dan 6 perwakilan serikat buruh.
Koordinator Program Penelitian Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati menjelaskan salah satu penyebab masih adanya kasus KDRT adalah tidak adanya dukungan dari masyarakat dalam pelaksanaan aturan tersebut. Di samping itu, dari 28 buruh yang diwawancara juga mengaku tidak mengetahui UU PKDRT.
"Kalau dia mengadu ke ibunya, ibunya bilang sabar dulu, mungkin berubah. Kemudian dia mengadu ke RT/RW, dibilang ini bukan wilayah saya tapi privat. Mengadu ke perusahaan sudah pasti sulit karena tidak akan diakui dan cenderung disalahkan," jelasnya di kantor LBH Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Vivi menambahkan pelaku KDRT tidak hanya berasal dari suami korban, melainkan juga mantan suami yang berada dalam satu tempat kerja atau perusahaan. Adapun yang menjadi penyebab kekerasan di antaranya yaitu kebiasaan pasangan, konflik dalam keluarga, masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat.
Menurut Vivi, akibat KDRT ini, buruh perempuan mengalami luka fisik dan mental yang bisa menurunkan produktifitas mereka di perusahaan. Dalam kondisi tertentu, katanya, KDRT bisa membuat mereka merasa tidak berharga dan berpikir untuk bunuh diri. Kendati demikian, masih menurut Vivi, sejumlah buruh perempuan tetap bertahan dalam melanjutkan kehidupan keluarga mereka dengan berbagai alasan seperti takut kehilangan anak dan rasa hormat terhadap suami.
"Kenyataannya independen secara ekonomi, pendidikan tinggi itu bertahan 20 tahun di dalam kekerasan. Jadi ini sebuah refleksi yang besar," tambah Vivi.
Atas dasar tersebut, Perempuan Mahardhika mendorong pemerintah untuk mensosialisasikan UU PKDRT kepada masyarakat dan mengintegrasikan kementerian terkait untuk pencegahan dan perlindungan perempuan dari KDRT.
Selain itu, organisasi itu juga menganjurkan kepada pemerintah agar memfungsikan RT/RW sebagai ujung tombak dalam melakukan pencegahan KDRT, dan memastikan aparat penegak hukum menggunakan UU PKDRT dalam menangani kasus-kasus KDRT.
Perempuan Mahardhika juga mengusulkan agar serikat buruh memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh.
Pemerintah Apresiasi Riset KDRT Buruh Perempuan
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), Ali Hasan mengapresiasi riset yang dilakukan Perempuan Mahardhika. Ia juga siap menindaklanjuti hasil laporan tersebut. Hanya, ia meminta Perempuan Mahardhika agar memberikan masukan yang lebih detail apa yang bisa dilakukan kementeriannya.
Di samping itu, KP3A juga sudah memiliki Gerakan Bersama STOP KDRT untuk mencegah KDRT di berbagai daerah sejak tahun lalu.
"Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan peningkatan kapasitas berupa sosialisasi Gerakan Bersama Stop KDRT. Mulai dari tingkat pusat ke daerah. Bahkan di daerah kami berupaya mengupayakan desa atau kelurahan yang bebas KDRT," jelasnya.
Ali Hasan juga berharap aparat penegak hukum menindak pelaku KDRT sesuai hukum yang belaku. Anggota Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan kebijakan dan aturan yang dimiliki Indonesia tentang pencegahan dan perlindungan terhadap perempuan dari KDRT sudah bagus, namun belum berjalan dengan baik.
"Menurut kami di Komnas Perempuan, salah satu hal yang harus kita buat di tahun 2020 adalah memeriksa ulang semua instrumen kerja untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan," tutur Andy.
Andy berharap dengan evaluasi strategi atau langkah dalam penghapusan KDRT dan kekerasan terhadap perempuan di sektor lainnya, kekerasan serupa tidak terulang kembali.
Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 406.178 pada 2019. Dari jumlah kasus tersebut, KDRT menempati urutan pertama yaitu sebesar 71% (9.637). Data ini juga didukung oleh Catahu LBH Apik Jakarta bahwa sepanjang tahun 2019 kasus yang paling banyak masuk adalah kasus KDRT dan dari 249 kasus KDRT hanya 15 kasus yang dilaporkan ke polisi. [sm/ab]