Untuk petani Achmad Rusli, ini musim asap: Sepuluh minggu tanpa sinar matahari untuk pohon-pohon jeruk, jambu dan durian, akibat kebakaran hutan yang melanda Indonesia.
Api akhirnya padam dengan datangnya hujan, tapi terlambat bagi hasil panennya yang terlalu sedikit untuk dijual.
"Kita tidak melihat matahari dalam dua setengah bulan," ujar Rusli, 34, dari Riau, salah satu dari enam provinsi yang paling parah terkena kebakaran hutan. "Bagaimana kita bisa panen buah?"
Bencana ekologis tersebut telah menghasilkan kerugian besar bagi lingkungan, ekonomi dan kesehatan manusia: 2,1 juta hektar hutan dan lahan terbakar, 21 tewas, lebih dari setengah juta orang sakit pernapasan dan Rp 123,8 triliun hilang, dari panen yang rusak sampai ratusan penerbangan yang dibatalkan.
Perusahaan-perusahaan minyak dan kertas secara ilegal membakar hutan untuk membuka lahan untuk menanam lebih banyak pohon dengan cara semurah dan secepat mungkin. Pemerintah telah menyelidiki lebih dari 300 perusahaan perkebunan dan 83 tersangka telah ditahan, menurut Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti. Izin-izin tiga perusahaan perkebunan telah dicabut dan 11 lainnya telah diskors.
Kebakaran hutan telah menjadi masalah tahunan sejak pertengahan 1990an, namun tahun ini adalah yang terburuk sejak 1997, ketika kobaran api menyebar ke wilayah seluas hampir 10 juta hektar.
Keserakahan adalah penyebabnya. Herry Purnomo, ilmuwan dari Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR), mengatakan hanya perlu biaya sekitar Rp 100 ribu untuk membuka satu hektar lahan dengan membakar, dibandingkan dengan Rp 2 juta jika menggunakan traktor. Undang-undang Indonesia melarang pembukaan lahan dengan membakar, kecuali oleh petani skala kecil yang diizinkan sampai 2 hektar.
Meski demikian, hampir 50.000 kebakaran terdeteksi sejak Juli, menurut data satelit, dengan sebagian besar di Sumatera dan Kalimantan. Tidak adanya hujan akibat fenomena cuaca El Nino membuat situasi lebih parah.
Kabut tebal memaksa sekolah-sekolah tutup di Singapura dan Malaysia, dan untuk pertama kalinya mencapai Thailand selatan, di mana indeks polusi udara naik sampai tingkat tidak sehat.
Negara-negara tetangga semakin kritis, meski banyak dari perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia adalah milik Singapura dan Malaysia. Dan masyarakat Indonesia menghadapi dampak-dampak terburuk.
Syarif, 46, gagal memanen cabe dan tomat, yang layu dan kisut di pohon.
"Saya kehilangan segalanya... musim kering dan kabut asap merusak sayuran-sayuran kami," ujar Syarif. "Saya harus mulai lagi dari awal."
Jarak pandang menurun di bawah 50 meter di beberapa daerah, memaksa 13 bandar udara tutup.
Di enam provinsi yang paling parah terkena imbasnya, dengan penduduk 26 juta, rumah-rumah sakit kewalahan dengan 556.945 kasus orang dengan masalah saluran pernapasan antara Juli dan akhir Oktober, hampir tiga kali tingkat normal, menurut Kementerian Kesehatan.
Pada akhir Oktober, Indeks Standar Polusi mencapai rekor tinggi yaitu 3.300 di Kalimantan Tengah. Angka di atas 300 dianggap berbahaya.
Rosita Rossie, koordinator dinas kesehatan Riau, mengatakan ketika indeks polusi naik di atas 300, banyak klinik dan rumah sakit di provinsi berpenduduk enam juta orang itu menyediakan layanan 24 jam, dan beberapa diantaranya mengirim petugas-petugas kesehatan ke wilayah-wilayah terpencil.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 21 kematian terkait kebakaran hutan, termasuk luka bakar, pneumonia, asma dan meningitis yang diperburuk oleh infeksi-infeksi saluran pernapasan.
Hampir 20.000 sekolah harus tutup di enam provinsi ini, mempengaruhi sektiar 2,4 juta murid.
Kebakaran hutan juga membunuh banyak spesies yang terancam, termasuk orangutan dan badak Sumatera, ujar Rosichon Ubaidilla, ahli taksonomi hewan yang mengepalai Pusat Zoologi Riset Biologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Para peneliti dan warga lokal berjuang melindungi sekitar 50.000 orangutan liar yang hanya hidup di Kalimantan dan Sumatera. Hewan-hewan ini tidak hanya menghadapi kerusakan habitat mereka tapi juga masalah pernapasan, ujar Raffles B. Panjaitan, direktur penanggulangan kebakaran hutan di Kementerian Kehutanan.
Kebakaran hutan juga mengirimkan sejumlah besar gas rumah kaca ke udara. Sebagian besar yang hilang di hutan adalah lahan gambut, yang menyimpan sejumlah besar karbon.
Penelitian dari CIFOR menunjukkan bahwa pada 2012, kebakaran hutan di Riau saja melepaskan antara 1,5 miliar dan 2 miliar ton emisi karbon hanya dalam satu minggu, naik 10 persen dari emisi tahunan total Indonesia, menurut Sofyan Kurnianto, ilmuwan CIFOR dan penulis utama penelitian tersebut.
Kerugian negara akibat kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan tidak termasuk emisi. Willem Rampangilei, kepala BNPB, mengatakan jumlah tentatif masih berdasarkan data Bank Dunia dari 2013 yang fokus hanya di provinsi Riau. Mayoritas besar kerugian finansial adalah dalam sektor kehutanan, pertanian dan manufaktur. [hd]