Migrant Care bersama organisasi masyarakat sipil lainnya seperti Human Rights Working Group baru-baru ini merilis hasil kajiannya terhadap sembilan nota kesepahaman antara pemerintah dengan negara penerima, undang-undang tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan sejumlah kebijakan lainnya yang terkait dengan perlindungan buruh migran.
Hasilnya, menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah ditemukan bahwa instrumen nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara tujuan tidak memuat standar hak asasi manusia. Salah satu contohnya adalah MoU dengan pemerintah Malaysia tentang pekerja rumah tangga migran (2006) yang tidak memuat tentang aturan jam kerja, usia minimum, tidak menjelaskan hak-hak yang wajib dilindungi, serta larangan untuk tidak berserikat.
Hampir seluruh MoU lanjutnya tidak memuat hak-hak buruh migran dan kesepahaman dibangun atas landasan saling menguntungkan, bukan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Bahkan, menurut Anis, kajian ini menemukan bahwa MoU dengan Jepang hanyalah turunan dari perjanjian ekonomi dan perdagangan antara Indonesia dan Jepang dalam skema Kemitraan Ekonomi Indonesia Jepang (IJEPA) yang tentu saja menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dan mengabaikan persoalan hak asasi manusia.
Selain itu undang-undang tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia dan peraturan lainnya, kata Anies, juga tidak menegaskan kewajiban negara memberikan perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya.
Undang-undang tersebut, menurut Anies, justru melanggengkan diskriminasi pelayanan dan bernuansa bisnis karena mayoritas pasal memberikan mandat kepada swasta untuk memberikan layanan dan perlindungan. Hak asasi manusia dan keadilan gender memang menjadi asas dalam UU ini, tetapi asas tersebut tidak tercermin dalam pengaturan pasal-pasal.
"Kalau dilihat secara global ini anti hak asasi manusia, anti proteksi dan pro koorporasi dan itu terstruktur dari Mou, Undang-undang dan Perda serta yang lainnya," ujarnya.
Anis juga menilai pemerintah Indonesia selama ini mengabaikan dan tidak peduli pada realitas kerentanan dan potensi-potensi pelanggaran hak asasi yang dialami buruh migran Indonesia, terutama perempuan, mulai dari tahapan perekrutan, pelatihan, di tempat kerja hingga saat kepulangan.
Kelemahan lain dari kebijakan-kebijakan migrasi tenaga kerja Indonesia, tambahnya, adalah cenderung mendiskriminasi perempuan dengan berbagai pembatasan-pembatasan pada ruang gerak dan otonomi tubuh perempuan.
Untuk itu, Anis meminta agar konvensi buruh migran yang telah diratifikasi Indonesia dapat menggugurkan dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi buruhmigran serta menjadi dasar perlindungan HAM dalam tata kelola migrasi pekerja antarbangsa.
"Perspektif politik kebijakannya sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan eksploitatif, diskriminatif dan itu memicu praktek-praktek eksploitatif buruh migran," ujarnya.
Direktur Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengakui bahwa memang peraturan hukum di Indonesia terkait perlindungan buruh migran masih kurang dan tidak berperspektif hak asasi manusia.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan memperbaiki hal tersebut. Sekarang ini, ujar Lalu, DPR dan pemerintah sedang membahas perihal revisi Undang-undang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
"Instrumen-instrumen hukum kita yang ada memang belum berpihak kepada HAM. Jelas-jelas Undang-undang ini kan tadinya Permen (Peraturan menteri), Permen mengenai bisnis penempatan TKI yang ujug-ujug di ditransformasikan menjadi Undang-undang. Jadi warnanya warna bisnis," ujarnya. [ab]