ABK terdiri atas 39 pelaut China, Indonesia dan Filipina hilang di laut, Rabu (17/5) setelah kapal penangkap ikan mereka terbalik di Samudera Hindia, kata para pejabat.
Upaya pencarian multinasional sedang dilakukan setelah kapal China Lu Peng Yuan Yu 028 terbalik pada dini hari Selasa dengan 17 orang China, 17 orang Indonesia dan lima orang Filipina di dalamnya.
“Kapal-kapal China dan negara lain telah tiba di daerah tempat insiden itu terjadi dan upaya pencarian dan penyelamatan sedang berlangsung,” kata juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin dalam jumpa pers Rabu.
“Lebih banyak personel SAR bergegas ke tempat kejadian,” tambahnya.
“Kami akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan dengan semua pihak untuk mencari dan menyelamatkan orang-orang yang hilang.”
Beijing telah mengerahkan dua kapal komersial ke daerah itu – Lu Peng Yuan Yu 018 dan Yuan Fu Hai – untuk membantu operasi tersebut, lapor televisi pemerinah CCTV.
Juru bicara kementerian luar negeri Filipina Teresita Daza mengatakan Manila “menyadari dan memantau situasi dengan cermat.”
Kementerian luar negeri Indonesia juga mengonfirmasi insiden tersebut dan mengatakan Beijing sedang mengoordinasikan upaya penyelamatan.
Kapal yang terbalik tersebut dimiliki oleh perusahaan penangkapan ikan Penglai Jinglu, salah satu perusahaan perikanan besar milik negara China.
Kapal itu diizinkan menangkap cumi-cumi dan ikan sauri Pasifik, menurut Komisi Perikanan Pasifik Utara.
Kapal itu meninggalkan Cape Town di Afrika Selatan pada 5 Mei menuju Busan di Korea Selatan, menurut situs pelacakan MarineTraffic yang melacak kapal tersebut terakhir pada 10 Mei berada di tenggara Reunion, sebuah pulau kecil milik Prancis di Samudera Hindia.
Perusahaan Penglai Jinglu juga menjalankan operasi penangkapan cumi dan tuna di perairan internasional, termasuk Samudera Hindia dan laut di sekitar Amerika Latin. Perusahaan menolak untuk menjawab pertanyaan kantor berita AFP tentang insiden tersebut.
Penangkapan ikan berlebihan
China memiliki armada penangkap ikan perairan jauh terbesar di dunia, meskipun perkiraan jumlahnya sangat bervariasi.
Pada 2017, Beijing berjanji armadanya akan dibatasi menjadi 3.000 kapal saja, tetapi laporan tahun 2020 oleh lembaga penelitian di Inggris, Overseas Development Institute, memberikan angka hampir 17.000.
China berjanji untuk membatasi jumlah kapal nelayan tersebut menyusul reaksi internasional terhadap penangkapan ikan berlebihan yang dilakukan oleh kapal-kapal China.
Nelayan China semakin sering berlayar lebih jauh karena ikan di perairan sendiri semakin menipis jumlahnya, dan terjerat dalam perselisihan serta kecelakaan di laut yang semakin banyak.
Pada 2019, Manila menuduh kapal China menabrak kapal Filipina di Laut China Selatan yang disengketakan, menyebabkan kapal Filipina tenggelam dan membahayakan nyawa belasan awaknya. [lt/uh]
Forum