Tautan-tautan Akses

Kelanjutan Industri Batubara Dipertanyakan di Tengah Makin Banyak Perusahaan yang Sadar Lingkungan


Sebuah timbunan besar batubara disimpan di lahan milik pembangkit listrik tenaga batubaara Chesterfield milik Dominion Energy di Chester, Va, Senin, 4 Desember 2017 (foto: AP Photo/Steve Heiber)
Sebuah timbunan besar batubara disimpan di lahan milik pembangkit listrik tenaga batubaara Chesterfield milik Dominion Energy di Chester, Va, Senin, 4 Desember 2017 (foto: AP Photo/Steve Heiber)

Anda akan sadar ada yang tidak beres dengan industri anda saat salah satu pelanggan terbaik anda berpidato dalam konferensi tahunan yang anda selenggarakan tentng pesaing anda dari sudut pandang yang sangat positif.

Pada Konferensi Tahunan ke-40 Aliansi Batubara dan Energi Virginia pada bulan Mei, penyedia energi listrik Dominion Energy menyoroti kesepakatan perusahaan itu dengan Smithfield Foods untuk menghasilkan tenaga listrik dari kotoran babi.

“Benar,” ujar pelobi dari Dominion, James Beamer kepada kalangan industri batubara,”Kotoran babi untuk energi yang ramah lingkungan.”

Para pembicara baik dari perusahaan pembangkit energi utama pada konferensi itu mengatakan mereka memiliki rencana besar untuk energi terbarukan, dan mereka berusaha untuk menekan tingkat emisi dari karbon dioksida penyebab pemanasan global sebesar 80% menjelang tahun 2050.

Tak satupun berita ini menjadi kabar baik bagi industri batubara, bahan bakar yang sarat kandungan karbon untuk pembangkit tenaga listrik.

Sabtu menandai dirgahayu dua tahun pengumuman yang dikeluarkan Presiden Trump bahwa AS akan menarik diri dari kesepakatan iklim Paris. Namun momentu untuk mengatasi perubahan iklim terus bergulir.

Namun upaya ini tidak cukup. Emisi gas-gas rumah kaca terus meningkat di AS dan secara global, membuat dunia semakin jauh dari tujuan yang ditentukan di Paris untuk menghindari perubahan iklim yang membawa bencana.

Masa depan suram negara bagian penghasil batubara

Beamer mengatakan kepada para hadirin pada konferensi batubara Virginia bahwa investasi terbesar Dominion berikutnya di negara bagian penghasil batubara adalah fasilitas penyimpanan untuk energi terbarukan. Perusahaan itu berencana untuk membangun fasilitas pembangkit tenaga surya dengan kapasitas 3 gigawatt menjelang 2022 dan proyek rintisan pembangkit listrik tenaga bayu lepas, imbuhnya.

Meskipun pemerintahan Trump telah bertindak untuk melonggarkan aturan di bidang pertambangan dan pembakaran batubara untuk menghasilkan tenaga listrik, perusahaan-perusahaan penyedia energi listrik itu tetap tidak tertarik. Sejak tahun 2010, 289 pembangkit listrik tenaga batubara telah menutup atau berencana untuk menutup, menurut Sierra Club. Jumlah itu setara dengan setengah dari armada nasional. Tidak ada fasilitas pembangkit listrik tenaga batubara yang dibangun. US Energy Information Administration (EIA) memprediksi batubara akan terus kehilangan pasar kepada gas alam dan energi terbarukan hingga paling tidak tahun 2050.

Menteri energi dan lingkungan Kentucky, Charles Snavely, seorang mantan eksekutif industri batubara menyampaikan kepada hadirin, EIA mungkin kurang memperhitungkan.

“Seandainya kita telah memproyeksikan penurunan signifikan sejalan dengan berjalannya waktu,” tuturnya, “saya rasa kondisinya akan lebih buruk dari itu.”

Tekanan sektor swasta

Satu alasan utama mengapa perusahaan-perusahaan pembangkit energi meninggalkan bahan bakar fossil adalah adanya tuntutan dari para pelanggannya untuk beralih ke energi terbarukan. Perusahaan-perusahaan besar, yang haus akan energi mendorong disediakannya pembangkit listrik tenaga surya dan bayu di negara-negara bagiaman dimana menanggulangi perubahan iklim bukan menjadi prioritas.

Di Alabama, contohnya, komisi layanan publik negara bagian pertama kali menyambut masuknya proyek pembangkit listrik tenaga surya skala besar di tahun 2015 “semata-mata berdasarkan keputusan Walmart untuk masuk dan memanfaatkan tenaga surya,” menurut Komisioner Jeremy Oden, yang berbicara di panel regulator pembangkit listrik negara bagian pada konferensi batubara di Virgina.

Perusahaan itu bertujuan untuk mendapatkan tenaga listrik separuhnya dari energi terbarukan menjelang tahun 2025.

Perusahaan-perusahaan lain di Alabama mengikuti jejak, termasuk Toyota dan Amazon, yang juga memiliki tujuan untuk menekan emisi gas rumah kaca dan bersedia, dalam hal-hal tertentu, untuk membayar harga lebih mahal untuk mendapatkannya.

Perusahaan-perusahaan seperti ini mengindikasikan pada kalangan regulator negara bagian bahwa mereka menuntut disediakannya energi terbarukan “tak peduli apapun yang dibutuhkan,” ujar Ketua Komisi Layanan Publik dari Missouri, Ryan Silvey.

“Tak peduli apapun yang dibutuhkan,” demikian kesepakatan yang disuarakan juga oleh Talia Methews, Komisioner Layanan Publik dari Kentucky.

Kebijakan iklim federal

Perusahaan-perusahaan besar tengah melobby pemerintah federal untuk berbuat lebih banyak lagi. Levi’s, Nike, Mars Incorporated, Microsoft, PepsiCo, eBay dan lusinan lainnya berusaha untuk meyakinkan akan “kebutuhan adanya kebijakan federal. Kita harus sematkan harga pada karbon. Dan ini adalah persoalan yang bukan hanya menyangkut masa depan planet kita, keluarga kita, anak-anak kita, namun juga ekonomi kita,” ujar CEO Mindy Lubber yang mewakili lembaga nirlaba keberlanjutan perusahaan Ceres.

Sejak Pemilu November 2018, banyak anggota DPR yang cenderung beraliran sosialis yang terpilih, beberapa negara bagian telah meningkatkan rencana mereka untuk mengatasi perubahan iklim.

Tahun ini, New Mexico, Nevada, dan Washington telah berkomitmen untuk menghasilkan 100 persen energi bersih menjelang tahun 2050 atau lebih awal. California dan Hawaii telah meloloskan undang-undang serupa.

Pemilu tahun 2018 telah mencantumkan agenda perubahan iklim di tingkat federal juga, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun. Faksi Demokrat melihat adanya peluang untuk berkampanye menyerang faksi Republik yang menentang dan minimnya aksi dalam pemilihan presiden 2020.

Upaya Dunia Masih Belum Memadai

Tak ada negara lain yang mengikuti Amerika Serikat dalam ancamannya untuk keluar dari kesepakatan iklim Paris.

Presiden Trump dan para pendukungnya telah mengatakan kesepakatan itu membuat Amerika serikat dalam posisi yang tidak menguntungkan karena mewajibkan warga Amerika untuk mengurangi emisi namun tidak mewajibkan pembatasan-pembatasan yang sama pada negara-negara lain.

Negara-negara yang bertanggung jawab sebagai penghasil gas rumah kaca, termasuk China, India, dan Indonesia, semua memiliki ikrar yang ambisius terkait kesepakatan Paris,” ujar Andrew Light, seorang Distinguished Senior Fellow pada World Resources Institute dan seorang mantan penasihat iklim di bawah pemerintahan Obama. “Tampaknya mereka berada di jalur yang benar dalam upayanya untuk memenuhi ambisi mereka.”

Memenuhi ikrar tersebut tetap tidak akan dapat menyelamatkan planet ini dari pemanasan global yang membawa bencana. Dan berbagai upaya sejauh ini belum dapat menghentikan peningkatan gas-gas rumah kaca, baik di Amerika Serikat maupun di tingkat global. Tahun lalu tingkat emisi mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah, dengan peningkatan lebih dari 2% pada tahun 2017 saja., di saat para ilmuwan di PBB mengatakan emisi global harus mengalami penurunan sebesar 45% menjelang 2030 untuk menghindari konsekuensi terburuk perubahan iklim.

Sekitar 80 negara siap untuk mengumunkan langkah-langkah yang lebih besar untuk menekan emisi pada pertemuan iklim PBB di bulan September, ujar utusan PBB untuk masalah iklim Luis Alfonso de Alba, meskipun ia tidak merinci negara-negara mana saja.

“Saya meminta para pemimpin tidak hanya berpidato yang manis-manis saja namun harus menawarkan rencana nyata untuk mendorong aksi penanggulangan perubahan iklim yang kita butuhkan,” ujar Sekjen PBB Luis Guterres. [ww]

XS
SM
MD
LG