Tautan-tautan Akses

Kelaparan, Warga Afghanistan Jual Organ Tubuh dan Pertimbangkan untuk Jual Anak


Seorang warga Afghanistan membawa paket yang berisi bantuan yang didistribusikan oleh kelompok pemberi bantuan asal Turki di Kabul, Afghanistan, pada 15 Desember 2021. (Foto: Reuters/Ali Khara)
Seorang warga Afghanistan membawa paket yang berisi bantuan yang didistribusikan oleh kelompok pemberi bantuan asal Turki di Kabul, Afghanistan, pada 15 Desember 2021. (Foto: Reuters/Ali Khara)

Sewaktu krisis ekonomi dan kemanusiaan di Afghanistan memburuk, warga terpaksa menjual organ tubuh mereka, dan bahkan anak-anak mereka, agar dapat bertahan hidup.

Perebutan kekuasaan di Afghanistan pertengahan Agustus lalu menghentikan bantuan internasional bernilai miliaran dolar dan mendorong negara yang sudah sangat miskin dan rusak akibat perang serta dilanda kekeringan dan banjir itu menuju bencana.

Beberapa pekan terakhir ini kondisi negara tersebut semakin memburuk ketika musim dingin yang sangat parah menyelimuti negara itu. Organisasi-organisasi bantuan berjuang keras menyelamatkan warga yang kelaparan dan kedinginan karena mereka tidak memiliki makanan atau bahan bakar.

Bagi warga yang paling miskin, satu-satunya pemanas atau alat memasak adalah dengan batu bara atau kayu yang mereka peroleh dari jalanan bersalju, atau yang mereka terima dari kelompok bantuan.

Salah satu diantaranya adalah Gulnaz – yang bersama bayi laki-lakinya yang baru berusia 18 bulan, dan adiknya Khalida yang berusia 16 tahun – duduk di sisi jalan raya menuju ke Kabul, mengemis bantuan dari pengemudi yang lewat.

Mereka membakar gulungan kertas untuk menghangatkan tubuh, meski hampir tidak berarti mengingat suhu di luar yang berada di bawah nol karena jalan sepanjang 70 kilometer di mana mereka berada diapit oleh gunung bersalju.

Sesekali para pengemudi memperlambat laju kendaraan mereka untuk melemparkan uang kecil pada perempuan berusia 28 tahun yang mengenakan burqa berwarna biru tua yang tampak kotor dan penuh tambalan di beberapa sisinya. Gulnaz merasa bersyukur karena pada hari itu mereka berhasil mendapatkan 300 Afghanis atau sekitar Rp41.024, karena pada umumnya mereka mendapatkan lebih sedikit lagi.

“Kami tidak punya oven penghangat di rumah. Anak-anak saya tidak punya apapun untuk dimakan. Kami hidup dalam kelaparan. Apalagi saat musim dingin ini, kami tidak punya kayu bakar untuk menghangatkan tubuh. Kami tidak punya apa-apa di rumah, jadi setiap hari – baik saat hujan maupun salju – kami datang dan duduk di sini,” ungkap Gulnaz.

Seorang perempuan Afghanistan mengemis di salah satu pasar di wilayah kota tua Kabul, pada 14 September 2021. (Foto: AP)
Seorang perempuan Afghanistan mengemis di salah satu pasar di wilayah kota tua Kabul, pada 14 September 2021. (Foto: AP)

WFP: “Kami Butuh Rp4.000 Per Orang Per Hari”

Juru bicara Program Pangan Dunia (WFP) di Afghanistan Shelley Thakral pada Rabu (26/1) lalu mengatakan pihaknya akan membutuhkan $2,6 miliar pada tahun ini. Jumlah itu kelihatan sangat besar, padahal jika dibagi untuk memenuhi kebutuhan 23 juta orang setiap hari maka berarti hanya sekitar “30 sen (Rp.4.000) per orang per hari.”

“Skala masalah di Afghanistan saat ini sangat mengerikan. Dua puluh tiga juta orang mengalami kerawanan pangan, dan ini berarti ada 23 juta orang yang tidak tahu dari mana mereka bisa mendapatkan makanan berikutnya. Kami membutuhkan $2,6 miliar pada tahun 2022 ini. Jika dirinci berarti sekitar $220 juta per bulan. Tetapi itu hanya 30 sen (Rp4.000) per orang per hari. Hanya ini yang kami minta. Kami membutuhkan anggaran ini karena kami harus menjangkau mereka secepat mungkin,” ujar Thakral.

Gulnaz bermigrasi dari Kunduz di bagian utara, ke provinsi Logar di bagian tengah Afghanistan, di mana suaminya menjadi pembuat sepatu. Tetapi perang membuat suaminya menganggur dan kebangkitan Taliban membuat mereka pergi ke tempat yang lebih aman. Kini ia tinggal di pemukiman kumuh di Pul-e-Alam, di dekat Kabul, di mana suhu udara pada bulan Januari dan Februari anjlok ke minus 16 derajat di bawah nol. Bersama adiknya – dan bayi laki-lakinya – Gulnaz mengemis di pinggir jalan raya menuju ke Kabul.

Taliban mengklaim situasi di Afghanistan baik-baik saja, dan bahwa kondisi keamanan kini semakin kondusif.

“Tanya siapapun yang ada di sini. Mereka senang. Keamanan baik,” kata pihak Taliban.

Tetapi warga Herat secara sembunyi-sembunyi mengatakan meski keamanan membaik, mereka tidak punya uang atau makanan untuk bertahan.

“Iya keamanan baik, tapi kami tidak punya uang sepeser pun atau makanan,” ujar salah seorang warga.

Para anggota pasukan Taliban duduk di depan mural yang menunujukkan wajah perempuan dibalik kawat berduri, di Kabul, pada 21 September 2021. (Foto: AP/Felipe Dana)
Para anggota pasukan Taliban duduk di depan mural yang menunujukkan wajah perempuan dibalik kawat berduri, di Kabul, pada 21 September 2021. (Foto: AP/Felipe Dana)

Jual Organ Tubuh

Di tengah situasi sulit ini, banyak warga Afghanistan bertahan dengan menjual organ tubuh mereka. Jual beli organ tubuh memang bukan masalah baru di Afghanistan, tetapi kini semakin banyak orang yang melakukannya. Associated Press mengutip laporan Sky News yang mengatakan jumlah orang yang berbondong-bondong datang ke kota Herat untuk melakukan operasi organ tubuh telah mendorong turunnya harga organ tubuh.

Seorang laki-laki mengatakan ia pernah menjual satu ginjalnya seharga 200.000 Afghanis atau sekitar Rp28,8 juta. Tetapi saat ini seorang perempuan mengatakan ia hanya mendapat 150.000 Afghanis atau sekitar Rp21,6 juta untuk satu ginjal yang dijualnya.

Kelaparan, Warga Afghanistan Jual Organ Tubuh dan Pertimbangkan untuk Jual Anak
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:06:13 0:00

Anak-Anak Jadi Target

Mereka yang sudah tidak lagi dapat menjual organ tubuhnya, kini beralih menjual anak-anak mereka.

“Tidak yang menyuruh saya menjual anak-anak saya, tapi kami berjuang keras agar tetap bertahan. Jadi saya terpikir untuk menjual mereka. Mungkin situasinya akan menjadi lebih baik bagi anak yang kami jual, dan saya bisa mendapatkan makanan untuk menghidupi yang lainnya,” ungkap seorang perempuan warga Afghanistan.

Awal bulan ini PBB meluncurkan permohonan terbesar bagi satu negara, yaitu lebih dari lima miliar dolar, untuk membantu Afghanistan. Diperkirakan 90 persen dari penduduk yang berjumlah 38 juta orang tergantung pada bantuan. Sementara hampir tiga juta orang telah mengungsi ke negara lain karena kekeringan, kelaparan dan perang.

WFP telah melakukan survei untuk mengetahui kota-kota yang paling membutuhkan dan membagikan voucher atau kupon makanan bagi warga kota tersebut. Tetapi berita tentang pembagian kupon itu beredar luas secepat turunnya salju dan membuat warga berbondong-bondong datang.

Laki-laki dan perempuan dari beragam usia, saling dorong memohon makanan. Perkelahian pun kadang tak terhindarkan. Sementara aparat keamanan berupaya melerai dan mengeluarkan mereka yang tidak memiliki kupon dari antrean distribusi pangan.

Manajer WFP di Pusat Distribusi Pangan di Logar, Hussain Andisha mengatakan selama bulan Januari ini, WFP membagikan makanan kepada 500 keluarga per hari. Khusus di kota Pul-e-Alam yang berpenduduk 23.000 jiwa, WFP menyiapkan bantuan pangan bagi 2.250 keluarga. Pemerintah Taliban di Logar tidak ikut campur tangan dalam pembagian bantuan itu, meskipun mereka tetap menjaga keamanan di tempat-tempat distribusi.

“Orang-orang telah kehilangan pekerjaan mereka, dan ada pembatasan terhadap kaum perempuan sehingga mereka tidak bisa bekerja di kantor pemerintah atau di sebagian perusahaan swasta. Jadi jelas situasinya dari hari ke hari memburuk,” kata Andisha.

WFP mengatakan mereka berjuang keras memberikan bantuan secara langsung kepada warga Afghanistan, tanpa berurusan langsung dengan penguasa Taliban-Afghanistan. [em/jm]

XS
SM
MD
LG