Invasi Rusia terhadap Ukraina telah menyebabkan korban lainnya: kebebasan pers di Rusia, menurut laporan baru Wartawan Tanpa Tapal Batas (Reporters Without Borders/RSF).
Kelompok advokasi media itu telah menempatkan Rusia nyaris di tempat terbawah indeks Kebebasan Pers Dunia 2022, yang dilansir hari Selasa bersamaan dengan Hari Kebebasan Pers Dunia. Indeks tahunan ini mengklasifikasikan 28 negara “memiliki kebebasan media yang sangat buruk.”
RSF juga menyatakan serangan Moskow terhadap kebebasan pers meningkat ketika pasukan Rusia menyerbu Ukraina melalui cara-cara seperti propaganda, UU yang bertujuan untuk mendiskreditkan media yang kredibel, larangan situs web dan penangkapan.
Rusia hanyalah satu dari beberapa negara yang disoroti dalam indeks mutakhir di mana pemerintahnya telah membatasi atau menekan sama sekali kebebasan media. Daftar ini juga mencakup:
– Afghanistan, di mana Taliban berjanji akan menjunjung kebebasan pers setelah merebut kembali kekuasaan tahun lalu, tetapi malah memberlakukan UU yang membatasi dan menghalangi jurnalis perempuan melakukan siaran, dan di mana media menghadapi kesulitan keuangan setelah larangan terhadap hiburan dan iklan memangkas pendapatan;
– Hong Kong, di mana situs-situs berita prodemokrasi telah ditutup setelah serangkaian penggerebekan dan penangkapan sejak Beijing mengesahkan UU keamanan nasional menyeluruh pada 2020 setelah protes massal antipemerintah pada tahun sebelumnya;
– Ethiopia, yang memberlakukan penutupan komunikasi dan membatasi akses di tengah-tengah perang di kawasan Tigray;
– dan Myanmar, di mana kudeta 2021 yang menggulingkan pemerintah sipil menyebabkan jurnalis ditahan, izin media dicabut, dan banyak media berita kembali dilarang, menandai kemunduran 10 tahun bagi hak-hak media.
“Ada efek menular di rezim yang otoriter,” kata Clayton Weimers, wakil direktur RSF wilayah AS, “dan ketika kita membiarkan budaya impunitas hadir di mana penguasa diktator dibiarkan untuk memburu wartawan, melecehkan mereka, menahan mereka, memukuli mereka di jalan-jalan dan membunuh mereka, ini memiliki efek berikutnya. Ini membuat diktator lainnya yang melihat itu akan melakukan hal yang sama.”
Yang lebih merisaukan, kata Weimers kepada VOA, adalah dampak polarisasi media dan disinformasi terhadap masyarakat: “Pada 2022, ini benar-benar tak terbantahkan bahwa polarisasi media dan kekacauan informasi benar-benar memicu perpecahan sosial dengan cara-cara yang terbilang baru.”
Demokrasi berperan penting dalam menjaga kebebasan pers. Namun, peningkatan disinformasi dan propaganda menyebabkan efek menghancurkan terhadap media independen, demikian temuan RSF.
Indeks 2022 mengungkapkan AS membuat sedikit peningkatan dibandingkan dengan tahun 2021, tetapi jurnalis dan media menandai adanya hambatan untuk meliput, termasuk pemerintah negara bagian dan protes. [uh/ab]