Para aktivis perempuan di Venezuela sebagian besar menghentikan layanan aborsi ilegal setelah penangkapan seorang profesor universitas yang membantu seorang gadis berusia 13 tahun mengakhiri kehamilan.
Hal itu terungkap dari kesaksian 10 pendukung hak-hak perempuan yang diwawancarai oleh Reuters.
Polisi pada Oktober 2020 menggerebek rumah Vannesa Rosales di negara bagian barat laut Merida kemudian menangkapnya. Pengacara Vannesa menyatakan kemungkinan dirinya akan didakwa dengan tuduhan melakukan aborsi dan bekerja sama melakukan suatu kejahatan atas perannya dalam membantu remaja tersebut mengakhiri kehamilan setelah diperkosa.
Rosales ditahan di penjara selama lebih dari tiga bulan tanpa dakwaan resmi. Namun, Venus Faddul, pengacara Rosales mengatakan dia dibebaskan pada Senin (11/1) dan menjalani tahanan rumah. Ketua jaksa penuntut Tarek Saab melalui cuitan pada Minggu (10/1) malam menyatakan seorang pria didakwa telah memperkosa remaja tersebut.
Venezuela memiliki salah satu undang-undang aborsi paling ketat di Amerika Selatan, yang mengizinkan praktik itu hanya untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Namun, sejumlah individu, organisasi, dan jaringan informal di seluruh negeri itu tetap menasihati perempuan tentang upaya-upaya mengakhiri kehamilan tersebut.
Selain memberi dukungan secara fisik dan emosional, mereka dapat menghubungkan sejumlah perempuan itu dengan beberapa dokter atau mereka yang menjual obat pemicu aborsi seperti misoprostol, atau terkadang menyediakan obat itu sendiri.
Hukuman atas upaya mengakhiri kehamilan itu mulai dari enam bulan hingga dua tahun bagi perempuan dan satu hingga tiga tahun bagi para praktisi yang terlibat.
Dalam beberapa tahun terakhir media setempat melaporkan beberapa kasus perempuan yang dipenjara karena mengakhiri masa kehamilan tetapi masalah itu belum menjadi isu utama gerakan hak-hak perempuan Venezuela.
"Dalam 10 tahun terakhir, tak seorang aktivis pun seperti halnya Vannesa telah ditangkap," kata Faddull.
Venezuela tidak mempublikasikan statistik mengenai aborsi atau ketersediaan alat kontrasepsi, akan tetapi para aktivis menyatakan lebih banyak perempuan yang mencari layanan aborsi sejak dimulainya krisis ekonomi yang sedang berlangsung.
Kontrasepsi selama bertahun-tahun tidak terjangkau bagi kebanyakan perempuan bahkan tidak tersedia. Selain itu, kata kelompok hak peremuan tersebut, banyak perempuan tidak punya cukup biaya untuk membesarkan anak.
Bulan lalu, Argentina menjadi negara Amerika Latin ketiga yang mengizinkan aborsi sebagai pilihan ketika parlemen mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang mengizinkan upaya menggugurkan kandungan dalam 14 minggu pertama kehamilan.
Kementerian informasi Venezuela dan kantor kejaksaan tidak berkomentar atau memberikan tanggapan. [mg/pp]