Enam belas organisasi HAM menyerukan penyelidikan internasional atas sebuah isu pemenjaraan masal sekitar satu juta warga etnis Uighur dan Muslim Turkik di provinsi Xinjiang, China. Mereka mendesak Dewan HAM PBB, yang akan mulai bersidang bulan ini, agar memberlakukan sebuah resolusi bagi pembentukan misi pencari fakta ke Xinjiang.
Isu ini pertama mengemuka pada Agustus ketika Komite PBB bagi Pembrantasan Diskriminasi mengkaji catatan HAM China. Salah satu anggota komite ini meng-konfrontir delegasi China seputar laporan bahwa satu juta warga Uighur ditahan di pusat-pusat penahanan masal di Xinjiang.
Sarah Brooks dari International Service for Human Rights adalah pengacara urusan Asia, dan dia menjelaskan perkembangan itu sebagai sebuah titik balik.
“Ini menjadi sebuah momen dimana, secara mencengangkan, pemerintah China dan delegasi yang dikirimkan ke Jenewa harus berhadapan dengan Komite Para Pakar itu dan mereka dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman. Mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sangat sulit, dan saya berpendapat, mereka dihadapkan kepada situasi dimana mereka harus memberi sebuah jawaban yang bunyinya tidak sekedar penahanan itu tidak eksis,” ungkap Brooks.
Seiring waktu, tanggapan China telah berubah dan berusaha untuk berada selangkah di depan dari kritik dunia internasional. China kini mengakui, pihaknya menahan warga Uighur dan Muslim Turkik di dalam kamp-kampnya yang disebutnya kamp politik atau pendidikan kejuruan.
Ken Roth, direktur eksekutif Human Rights Watch mengatakan, pemerintah China kini mengklaim sedang berusaha melawan ekstremisme dan terorisme, sebuah klaim yang dipertanyakan oleh dunia internasional.
“Maksud penahanan ini adalah menghapus identitas etnis dan keagamaan dari Muslim Turkic dan menjamin kesetiaan mereka kepada pemerintah China, partai Komunis dan pemimpin Xi Jinping,” ujar Roth.
Kelompok-kelompok HAM melaporkan orang-orang di kamp itu dihadapkan pada indoktrinasi politik yang dipaksakan, dipaksa melepaskan agama mereka, dan acapkali diperlakukan secara buruk, dan dalam beberapa kasus, disiksa. Mereka mengatakan, tahanan tidak boleh berhubungan dengan keluarga, tidak diberi akses kepada pengacara serta ditahan tanpa kejelasan sampai kapan.
Kumi Naidoo adalah sekjen dari Amnesty International, dan menyebut Xinjiang sebagai sebuah penjara besar. Katanya, disitu dilakukan pengintaian dengan teknologi canggih, indoktrinasi politik, asimilasi budaya yang dipaksakan, penahanan semena-mena, dan penghilangan orang. Katanya, minoritas etnis menjadi orang asing di daerah mereka sendiri.
“Sedemikian besarnya jumlah orang yang ditahan, sehingga pemerintah harus membuka rumah piatu untuk menampung anak-anak dari orang tua yang sedang diindoktrinasi. Tetapi China terus berusaha menyembunyikan dan menolak akses ke kawasan itu kepada pengamat independen, meskipun ada permintaan berulang kali dari PBB dan pihak-pihak lainnya,” tukas Naidoo.
Kata Naidoo China harus dimintakan pertanggung-jawabannya atas tindakan-tindakannya yang represif. Katanya, negara-negara anggota PBB harus bertindak dan memberi mandat bagi penyelidikan terhadap situasi di sana. [jm]