Sebuah kelompok HAM terkemuka di Israel menggambarkan negara itu dan kontrolnya atas wilayah Palestina sebagai sebuah rezim apartheid, istilah yang selama ini ditolak keras oleh para pemimpin Israel dan pendukung mereka.
Dalam sebuah laporan yang dirilis Selasa (12/1), B'Tselem mengatakan warga Palestina hidup di bawah kendali Israel di Tepi Barat yang diduduki, di Gaza yang diblokade, di Yerusalem Timur yang dianeksasi, dan di dalam wilayah Israel sendiri. Warga Palestina, menurut organisasi itu, memiliki hak yang lebih sedikit daripada orang-orang Yahudi di seluruh wilayah negara itu yang terbentang antara Laut Tengah dan Sungai Yordan.
“Salah satu poin penting dalam analisis kami adalah bahwa ini adalah satu wilayah geopolitik yang diatur oleh satu pemerintah,” kata direktur B'Tselem Hagai El-Ad. “Ini bukan demokrasi plus pendudukan. Ini jelas-jelas apartheid.”
Peter Beinart, warga Amerika keturunan Yahudi yang dikenal sebagai pengecam keras Israel, pernah menyebabkan kehebohan serupa tahun lalu ketika dia mendukung gagasan pendirian sebuah negara binasional dengan hak yang sama bagi orang Yahudi dan orang Palestina. B'Tselem sendiri tidak mengambil sikap apakah harus ada satu atau dua negara terkait Israel dan Palestina.
Israel telah lama menampilkan diri sebagai negara demokrasi yang berkembang di mana orang Palestina, yang merupakan 20 persen dari populasinya yang mencapai 9,2 juta, memiliki hak yang sama dengan orang Yahudi.
Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam perang 1967, kawasan-kawasan yang menampung hampir 5 juta orang Palestina dan yang diinginkan Palestina sebagai bagian dari negara masa depan mereka.
Israel menarik pasukan dan warga Yahudi dari Gaza pada 2005 tetapi memberlakukan blokade setelah kelompok militan Hamas merebut kekuasaan di sana dua tahun kemudian. Israel menganggap Tepi Barat sebagai wilayah sengketa yang nasibnya harus ditentukan dalam pembicaraan damai.
Israel mencaplok Yerusalem Timur pada 1967 melalui sebuah tindakan yang tidak diakui secara internasional dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibu kota terpadu. Sebagian besar warga Palestina di Yerusalem Timur dianggap sebagai penduduk Israel, tetapi bukan warga negara dengan hak suara.
B'Tselem berpendapat bahwa dengan membagi wilayah dan menggunakan alat kontrol yang berbeda, Israel menutupi kenyataan yang mendasarinya bahwa orang Yahudi dan orang Palestina hidup di bawah satu sistem namun dengan hak-hak yang sangat tidak setara.
Istilah apartheid sebetulnya telah puluhan tahun digunakan para pengecam keras Israel untuk menggambarkan perlakuan Israel terhadap warga Palestina. Istilah itu sendiri merujuk pada segregasi rasial di Afrika Selatan yang diakhiri pada tahun 1994.
“Tidak ada negara di dunia yang lebih jelas dalam kebijakan apartheidnya selain Israel,'' kata Nabil Shaath, penasihat senior Presiden Palestina Mahmoud Abbas. “Ini adalah negara yang mendasarkan keputusan-keputusannya pada ras untuk menyita lahan, mengusir penduduk asli, menghancurkan rumah dan membangun permukiman.” [ab/uh]