Reporter VOA di Seoul, Brian Padden melaporkan, para aktivis, banyak di antaranya pembelot Korea Utara berharap, dengan bantuan melalui laut yang melintasi perbatasan itu, akan sampai untuk mereka yang membutuhkan dan tidak disita oleh pemerintah Kim Jong Un yang menindas.
Para pegiat Korea mengirim pesan-pesan yang berisi harapan di dalam botol-botol plastik itu ke laut.
Kelompok-kelompok kemanusiaan meluncurkan paket bantuan yang berisi beras, obat-obatan, dolar Amerika, dan berita-berita dari dunia luar itu di Pulau Ganghwa di Laut Kuning, yang terletak di selatan perbatasan antar-Korea. Kata mereka, arus laut akan membawa botol-botol yang disegel itu ke kota-kota besar dan kecil di sepanjang pantai barat Korea Utara.
“Jika kami mengatur tanggal dan waktunya benar, barang-barang itu akan tiba di sana 100 persen,” kata Park Jeong-oh seorang aktivis.
Dalam satu hari saja, kelompok aktivis (peggiat) itu bisa mengirim lebih dari 500 kilogram beras dan 400 batang memori komputer yang penuh dengan film-film Korea Selatan dan berita independen yang dilarang di Korea Utara.
Jung Kwang-il, seorang pembelot Korea Utara yang baru-baru ini bertemu dengan Presiden AS, Donald Trump di Gedung Putih, telah memasukkan salinan pidato berapi-api presiden di PBB tahun lalu.
"Tukang roket itu melakukan misi bunuh diri untuk dirinya sendiri dan untuk rezimnya," kata Trump.
Dia mengancam akan menghancurkan Korea Utara karena mengejar senjata nuklir dan dengan keras mengritik pemerintah Kim Jong Un atas kelaparan dan penindasan yang meluas di negara ini.
“Jadi pesan yang kami kirim kepada mereka adalah, presiden AS tahu bahwa Anda hidup dalam kondisi yang keras,” tutur Jung Kwang-il seorang pembangkang Korut.
PBB melaporkan, lebih dari 40 persen penduduk Korea Utara kekurangan gizi. Dan ada kekhawatiran bahwa sanksi terhadap ekspor yang bermaksud menekan Pyongyang agar menghentikan program nuklirnya, malah meningkatkan kemiskinan dan kelaparan di negara itu.
Para pembelot Korea Utara yang terlibat dalam upaya bantuan tidak konvensional itu, telah mengumpulkan uang dan menyumbangkan waktu untuk membantu mereka yang paling membutuhkan di negara yang mereka tinggalkan.
"Sangat sulit melakukannya, tetapi setelah mengirimnya saya merasa bangga," ujar Kim Yong-hwa.
Sebagian bantuan mereka juga berasal dari gereja-gereja Kristen yang ingin mengirim Alkitab ke Korea Utara yang komunis, di mana ajaran agama sangat dibatasi. [ps/al]