Sejumlah aktivis dan juga korban kasus penodaan agama pada Selasa (14/8) mengajukan permohonan uji materi (judicial review) pada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 4 Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dan pasal 156A KUHP, karena dianggap mudah menjerat kelompok minoritas mendapat tindak pidana atas penodaan agama.
Salah satu korban kasus penodaan agama yang mengajukan uji materi tersebut adalah Tajul Muluk, pemimpin komunitas Syiah yang divonis dua tahun penjara karena menyebarkan ajaran yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.
Kuasa Hukum pemohon, Iqbal Tawakal Pasaribu kepada VOA mengatakan selama ini pasal penodaan agama sangat mudah dikenakan kepada seseorang khususnya yang berasal kelompok minoritas karena pasal-pasal tersebut multitafsir.
“[Kami] meminta agar penerapan pasal pidana Undang-Undang ini harus didahului Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB) karena SKB tiga menteri itu paling tidak menunjukkan bahwa otoritas negara terhadap urusan agama itu berjalan. Saat ini negara seakan tidak mempunyai peran dalam urusan agama. Ustadz Tajul Muluk sendiri sudah menjadi korban. Hanya menggunakan fatwa MUI Sampang dan DPC NU Sampang, sudah bisa diproses Kepolisian dan Kejaksaan,” ujarnya.
Bukan hanya Tajul Muluk yang dikenakan pasal penodaan agama ini, sebelumnya penganut ateisme di Sumatera Barat dan juga pemimpin kelompok Kerajaan Tuhan, Lia Eden, serta sejumlah orang lainnya juga pernah dikenakan pasal penodaan agama.
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat Dawam Raharjo mengatakan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dimana setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menjalankan keyakinannya.
Undang-Undang tersebut, kata Dawam, melarang suatu agama atau aliran tertentu melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan agama yang ada.
Pemerintah, tambahnya, harus menjamin kebebasan beragama masyarakat termasuk agama-agama kelompok minoritas. Menurutnya, pasal-pasal tentang penodaan agama memang harus dicabut dalam peraturan yang ada di Indonesia.
“Melindungi kebebasan beragama agar agama ini berkembang dengan subur dan baik jadi jangan dihalang-halangi. Negara tidak boleh mengontrol tetapi memfasilitasi kehidupan beragama. Nah, prinsip ini harus dilihat sehingga yang dibutuhkan adalah kebebasan beragama,” ujar Dawam.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin mengungkapkan peraturan tentang pencegahan penodaan agama itu penting untuk mencegah terjadinya penodaan terhadap suatu agama.
Ia juga membantah kalau peraturan tentang pencegahan penodaan agama itu merupakan pemicu terjadinya tindak kekerasan berdasarkan agama.
“Masing-masing agama menjaga kemurnian agamanya masing-masing. Bebas itu dalam memeluk agama tidak berarti dia menafsirkan agama kemudian mendistorsi penafsiran dan pemahaman, itu yang bisa menimbulkan konflik,” ujar Ma’ruf.
Salah satu korban kasus penodaan agama yang mengajukan uji materi tersebut adalah Tajul Muluk, pemimpin komunitas Syiah yang divonis dua tahun penjara karena menyebarkan ajaran yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.
Kuasa Hukum pemohon, Iqbal Tawakal Pasaribu kepada VOA mengatakan selama ini pasal penodaan agama sangat mudah dikenakan kepada seseorang khususnya yang berasal kelompok minoritas karena pasal-pasal tersebut multitafsir.
“[Kami] meminta agar penerapan pasal pidana Undang-Undang ini harus didahului Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB) karena SKB tiga menteri itu paling tidak menunjukkan bahwa otoritas negara terhadap urusan agama itu berjalan. Saat ini negara seakan tidak mempunyai peran dalam urusan agama. Ustadz Tajul Muluk sendiri sudah menjadi korban. Hanya menggunakan fatwa MUI Sampang dan DPC NU Sampang, sudah bisa diproses Kepolisian dan Kejaksaan,” ujarnya.
Bukan hanya Tajul Muluk yang dikenakan pasal penodaan agama ini, sebelumnya penganut ateisme di Sumatera Barat dan juga pemimpin kelompok Kerajaan Tuhan, Lia Eden, serta sejumlah orang lainnya juga pernah dikenakan pasal penodaan agama.
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat Dawam Raharjo mengatakan Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dimana setiap warga negara memiliki kebebasan untuk menjalankan keyakinannya.
Undang-Undang tersebut, kata Dawam, melarang suatu agama atau aliran tertentu melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan agama yang ada.
Pemerintah, tambahnya, harus menjamin kebebasan beragama masyarakat termasuk agama-agama kelompok minoritas. Menurutnya, pasal-pasal tentang penodaan agama memang harus dicabut dalam peraturan yang ada di Indonesia.
“Melindungi kebebasan beragama agar agama ini berkembang dengan subur dan baik jadi jangan dihalang-halangi. Negara tidak boleh mengontrol tetapi memfasilitasi kehidupan beragama. Nah, prinsip ini harus dilihat sehingga yang dibutuhkan adalah kebebasan beragama,” ujar Dawam.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin mengungkapkan peraturan tentang pencegahan penodaan agama itu penting untuk mencegah terjadinya penodaan terhadap suatu agama.
Ia juga membantah kalau peraturan tentang pencegahan penodaan agama itu merupakan pemicu terjadinya tindak kekerasan berdasarkan agama.
“Masing-masing agama menjaga kemurnian agamanya masing-masing. Bebas itu dalam memeluk agama tidak berarti dia menafsirkan agama kemudian mendistorsi penafsiran dan pemahaman, itu yang bisa menimbulkan konflik,” ujar Ma’ruf.