Ketua Komisi Tinggi Independen Pemilu Irak Jaleel Adnan Khalaf mengatakan komisi itu “telah berhasil menyelesaikan audit atas 3.681 TPS” yang tidak dapat mengirimkan hasil pada hari pemilu karena “kegagalan menerapkan langkah-langkah teknis yang diperlukan.”
“Untuk memastikan transparansi proses pemilu dan menjaga suara pemilih dan hak kandidat dalam pemungutan suara, kami mengumumkan hasil setelah memeriksa dan menghitung hasilnya, juga setelah mencocokkannya di depan media, pengamat dalam dan luar negeri," ujar Khalaf.
Hasil audit itu telah dipublikasikan di situs resmi komisi tersebut, tambahnya.
Aliansi Fatah yang didukung Iran menolak hasil penghitungan suara pendahuluan pada Selasa, 12 Oktober, yang menunjukkan mereka kehilangan sekitar 75 persen kursi yang dipegang di parlemen sebelumnya, atau turun dari 48 kursi menjadi 12 hingga 14 kursi saja.
Al Sadr mempertahankan kursi terbanyak dengan memimpin di beberapa 18 propinsi Irak, termasuk di Ibu Kota Baghdad.
Pihak berwenang Irak mengintensifkan keamanan di ibu kota Baghdad, Sabtu (16/10) malam, beberapa jam sebelum pengumuman hasil akhir pemilu parlemen 10 Oktober itu. Aparat juga berjaga-jaga di seluruh Irak. Hal ini disampaikan Kepala Staf Angkatan Darat Irak Letjen Abdul Amir Rasheed Yar Allah.
“Insya Allah pasukan kami siap memastikan situasi keamanan di Baghdad pasca pengumuman hasil pemilu ini. Seluruh pasukan militer kami berada dalam kondisi waspada dan kami harap situasi ini akan tetap damai hingga seluru proses selesai. Kami menantikan pembentukan pemerintah baru," katanya.
Panglima angkatan bersenjata Irak menempatkan tentara dan berulangkali membangun pos-pos keamanan seiring dinaikkannya kewaspadaan ke tingkat maksimum.
Al Sadr, yang dikenang karena memimpin pemberontakan melawan pasukan Amerika pasca invasi tahun 2003, tampaknya berhasil menambah jumlah kursi di parlemen dari 54 kursi pada tahun 2018, menjadi lebih dari 70 kursi tahun ini. Parlemen Irak memiliki 329 kursi.
Berdasarkan undang-undang di Irak, partai yang memenangkan kursi terbanyak dapat memilih perdana menteri berikutnya, tetapi hampir tidka mungkin koalisi-koalisi yang bersaing memenangkan kursi mayoritas. Oleh karena itu dibutuhkan proses yang panjang dan melibatkan perundingan di bawah meja untuk memilih perdana menteri hasil konsensus dan menyetujui pemerintahan koalisi baru.
Pemilihan parlemen 10 Oktober ini adalah yang pertama sejak tahun 2018. Jumlah pemilih kali ini hanya mencapai 41 persen atau yang terendah di era pasca-Saddam Hussein. [em/jm]