Pengamat terorisme yang juga Direktur Institute for Policy Analysis Of Conflict, Sidney Jones berpendapat, ratusan orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS bukan jumlah yang banyak jika dibandingkan dengan total umat Islam di Indonesia. Menurut Jones, mereka yang bergabung dengan ISIS masih terbatas pada anggota kelompok radikal.
“Sampai saat ini sebagian besar yang direkrut adalah orang yang sudah ada hubungan langsung atau tidak langsung dengan organisasi radikal yang sudah ada. Ada JAT, ada Mujahiddin Indonesia Timur, ada pengikut Amanat Rahman yang sekarang ditahan di Nusakambangan, ada organisasi macam-macam tetapi yang menarik kalau anda ingin ke Suriah bergabung dengan ISIS harus ada rekomendasi dari orang yang sudah ada disana,” kata Sidney Jones.
Berbicara di Yogyakarta pekan ini, Sidney Jones mengatakan, untuk menangkal ideologi ISIS pemerintah harus terlebih dahulu memahami benar tentang ideologi ISIS. Menutup situs kelompok radikal, menurut Jones, tidak cukup membantu mengingat ada beragam media komunikasi termasuk media sosial yang mudah diakses.
Menurutnya, salah satu cara menangkal ISIS adalah mengawasi para napi teroris yang sekarang ada di penjara. “Memperkuat pengawasan napi teroris di penjara-penjara. Karena semua propaganda dari ISIS sekarang ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris atau bahasa Arab oleh orang yang sekarang ditahan di Nusakambangan," jelasnya.
"Ada (teroris) yang sudah dipisahkan tetapi mereka tetap bisa dapat akses HP, downloaded materials karena ada beberapa faktor, dan korupsi adalah salah satunya. Alat yang paling baik untuk melawan ideology radikal memberantas korupsi, karena dengan korupsi orang bisa dapat dokumen identitas palsu, bisa memasukkan bahan-bahan berbahaya kedalam penjara,” lanjut Sidney Jones.
Mohammad Iqbal Ahnaf, PhD, dosen dan peneliti pada program paska sarjana studi Agama dan Lintas Budaya UGM mengatakan, menutup situs radikal masih perlu dilakukan. Ia memandang perlu dilakukan penangkapan terhadap anggota kelompok radikal.
“Tidak hanya mereka yang dipenjara, saya kira termasuk mereka yang diluar karena jaringan-jaringan lama itu beberapa tokoh kunci masih bebas di luar. Beberapa tokoh kunci itu herannya sampai sekarang belum tertangkap," jelas Mohammad Iqbal Ahnaf.
"Sebenarnya gerakan terror di Indonesia itu kan melemah karena banyak sekali yang ditangkap Densus 88. Tetapi mereka itu selalu berusaha mencari bentuk baru. Dan bentuk-bentuk baru itu tidak selalu sama satu kelompok dengan kelompok lainnya. Makanya ketika ada ISIS itu mereka menemukan inilah sesuatu yang baru itu yang dicari,”lanjutnya.
Menurut Iqbal, ISIS membahayakan dari sisi kekerasan dan korban yang ditimbulkan. Bahaya lainnya adalah polarisasi sosial akibat kebencian agama yang bisa merusak fondasi toleransi di Indonesia.
Untuk mencegah paham ISIS berkembang di Indonesia, menurut Iqbal, perlu partisipasi muslim moderat bersinergi dengan pemerintah memberantas terorisme dengan mempersempit ruang gerak kelompok radikal dan menegakkan hukum.
Okriza Eka Putra, dari Majelis Intelektual Ulama Muslim Indonesia (MUIMI) Yogyakarta tidak sependapat dengan penangkapan anggota kelompok radikal karena bisa menimbulkan efek kebencian terhadap aparat. MIUMI yang berdiri dua tahun lalu, lebih mengedepankan pendidikan kepada masyarakat secara langsung melalui pengajian-pengajian.
Anggota MIUMI termasuk para ustadz dengan pendidikan minimal paska sarjana. Para ustadz menjelaskan bahwa ajaran ISIS itu sesat.
“Ketertarikan kepada ISIS kita harus tahu dulu. Pertama ISIS itu menjual nama Khalifah Islamiyah. Mereka mengatakan bahwa sehabis Rasulullah (Muhammad SAW) akan muncul para pemuda berpanji-panji hitam, dan kalau itu muncul maka bergabunglah dengan dia, itu kata Rasulullah. Jadi pertama alasannya memang ideologi," jelas Akrizal Eka Putra.
"ISIS itu kalau memang ingin menegakkan khalifah Islamiyah Rasulullah tidak pernah mengajarkan kekerasan seperti itu. Jadi di setiap pengajian kita itu selalu diselipkan dan di khotbah-khotbah itu kita selipkan bahwa ISIS itu aliran sesat,” lanjutnya.
Eka Putra mengusulkan, BNPT bekerjasama dengan para ustadz dari kelompok muslim moderat melakukan deradikalisasi melalui pembinaan kepada para anggota kelompok radikal, dimulai dari mereka yang ada di penjara. Menurutnya, pendidikan dan perlakukan tanpa kekerasan lebih efektif untuk jangka panjang.