Lebih dari empat ratus santri dan santriwati, bersama sejumlah aktivis perempuan dan 17 organisasi sipil, Senin (4/2/2019), meminta pemerintah segera mengesahkan RUU P-KS yang mandek di DPR. Desakan ini muncul di tengah kasus kekerasan seksual yang terus terjadi dan masa jabatan DPR yang akan selesai pada pertengahan tahun ini.
“Satu, penghapusan kekerasan seksual. Dua, mencegah perkawinan anak. Tiga, mencegah KDRT,” ujar peserta deklarasi dipimpin pengelola Pesantren Pondok Jambu, Masriyah Amva.
Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) wilayah Jawa Barat, Darwinih, mengatakan RUU ini harus segera disahkan untuk melindungi para korban kekerasan seksual.
“Agar segera RUU-nya disahkan jadi UU. Harapan kami, dengan disahkannya RUU PKS ini maka korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya,” ujarnya kepada VOA.
Kekerasan seksual merupakan kasus kedua tertinggi dalam kekerasan terhadap perempuan. Data Komnas Perempuan menunjukkan, dari total 9.609 kasus kekerasan terhadap perempuan, 41% adalah kekerasan fisik, 31% adalah kekerasan seksual, 15% adalah kekerasan psikis, dan 13% adalah kekerasan ekonomi.
Jalan Berliku RUU P-KS
Kekerasan seksual selama ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), namun hanya meliputi pencabulan dan pemerkosaan. Sementara itu, dalam RUU P-KS ada sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur spesifik. Hal ini meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
RUU P-KS ini resmi ditetapkan jadi inisiatif DPR sejak Februari 2017, namun hingga kini Komisi VIII masih dalam taraf menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Kini DPR sudah masuk masa sidang III dan menyisakan masa sidang IV. Darwinih mendesak DPR memanfaatkan masa sidang terakhir itu.
“Setelah pemilu masih ada satu kali sidang, kalau substansinya sudah siap dan hal-hal kontroversial bisa diselesaikan, didiskusikan, dan disepakati bersama, maka masih mungkin pengesahan RUU itu bisa jadi undang-undang,” tambahnya.
Selain mandek di DPR, baru-baru ini RUU P-KS ini ditolak oleh sebagian pihak karena dianggap melegalkan praktik aborsi dan seks di luar nikah. Namun, Komnas Perempuan menegaskan RUU P-KS tidak membuat praktik-praktik itu legal dan bahwa praktik-praktik itu sudah diatur UU lain.
Darwinih menegaskan, fokus RUU P-KS adalah kekerasan seksual yang selama ini belum ada payung hukumnya.
“Sampai hari ini pun upaya perlindungan bagi korban kekerasan seksual belum ada legalitas formalnya. Banyak sekali kasus kekerasan seksual yang selalu menyalahkan korban tapi tidak fokus pada pelaku kekerasan,” tambahnya.
Sementara itu, pendiri Fahmina Institute di Cirebon, Husein Muhammad, mengatakan RUU P-KS saja belum cukup untuk mencegah seluruh kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, batas minimum usia perkawinan bagi perempuan juga harus naik dari 16 tahun ke 18 tahun.
“Ada banyak sekali pertimbangan-pertimbangan. Satu, adalah pertimbangan kesehatan reproduksi. Usia perempuan di bawah 18 tahun masih rentang alat-alat reproduksinya. Belum kuat alat-alat reproduksinya. Yang kedua, usia 18 tahun belum selesai sekolah minimal yaitu SMA,” ujarnya saat berbicara di depan ratusan peserta deklarasi.
Deklarasi santri dan santriwati ini dilakukan di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat, yang jadi lokasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama pada 2017. Kongres tersebut menghasilkan tiga fatwa yang salah satunya merekomendasikan penghentian kekerasan seksual dan perkawinan anak.
Dukungan untuk RUU P-KS ini dimulai di Cirebon dan akan berlanjut ke kota-kota lain seperti Bandung. Cirebon dipilih karena memiliki kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi, mencapai 58 kasus pada 2018, menurut Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis. (rt/em)