Setidaknya 20 orang menjadi korban pembantaian kelompok sipil bersenjata di Kali Yigi, Nduga, Papua. Kelompok itu dipimpin oleh Egianus Kogoya, dan telah mengaku sebagai pelaku serangan dengan senjata api itu. Pemerintah merespons itu dengan mpengerahkan aparat TNI dan Polisi, dengan tujuan utama melakukan mengevakuasi jenazah korban. Operasi ini menimbulkan ketakutan, dan masyarakat lari bersembunyi di hutan.
Semua pihak kini diminta menurunkan ketegangan dengan menahan diri. Tidak hanya pemerintah, khususnya TNI dan Polri, kelompok sipil bersenjata juga harus menyambut ajakan ini.
Dialog hanya bisa dilakukan oleh dua pihak, bukan satu pihak saja, kata Pendeta Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua kepada VOA.
Masalahnya adalah, orang Papua memiliki trauma panjang dengan apa yang disebut sebagai dialog. Namun, segala upaya tetap harus dilakukan, karena tidak ada pilihan lain. Matheus juga memandang penting peranan gereja dan lembaga adat dalam upaya tersebut.
“Tetapi dari pengalaman trauma yang panjang ini, bisa menyebabkan mereka ragu-ragu. Menurut hemat saya, yang pertama memang operasi bersenjata itu ditarik dulu,” kata Matheus Adadikam.Setelah operasi senjata ditarik, tokoh adat dan tokoh agama duduk bersama dengan pemerintah setempat, tambah Matheus.
“Kemudian bagaimana tokoh adat dan tokoh agama duduk bersama dengan pemerintah setempat. Mereka coba bicara. Sebab di antara itu, pasti ada orang yang punya komunikasi khusus dengan saudara kita yang bersenjata ini. Mungkin dengan begitu, mereka akan lebih merasa ini jalan yang paling soft,” ujarnya.
Matheus yakin, kelompok sipil bersenjata ini memiliki pihak yang didengar dan dipercaya. Gereja adalah salah satunya. Kemungkinan lain adalah tokoh lokal, dari mulai tingkat kampung hingga kabupaten. Untuk itulah, seluruh pihak yang kemungkinan bisa memberi pengaruh kepada mereka, harus dilibatkan dalam pembicaraan damai.
Matheus, yang mantan Sekretaris Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) Papua, yakin gereja masih dipercaya.
Dalam pernyataan resminya, ELSHAM Papua mengatakan bahwa para pelaku pembunuhan di Kali Yigi adalah target operasi aparat keamanan. Karena itulah, mereka meminta anggota TNI dan Polri mengedepankan profesionalisme serta menjunjung hukum dan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku sesuai Konvensi Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
ELSHAM Papua juga mengingatkan bahwa masyarakat Papua umumnya dan khususnya di wilayah Nduga dan sekitarnya memiliki trauma terkait Operasi Mapenduma pada 1986.
Kepada kelompok sipil bersenjata, atau siapapun yang melakukan pembunuhan tidak manusiawi di Kali Yigi, ELSHAM Papua meminta mereka untuk bertanggung jawab penuh. Kelompok sipil bersenjata juga tidak boleh melibatkan masyarakat karena akan menimbulkan korban jiwa lebih banyak lagi. Pihak TPN-OPM juga harus menghormati dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dalam konvensi HAM PBB.
“Banyak orang lokal di Nduga yang berpendidikan atau punya kedudukan di tempat lain, ajak mereka semua. Kita memang butuh cepat menyelesaikan ini, tetapi konteks di situ, menjadi sesuatu yang harus diperhatikan. Bagi saya, ini dulu yang dilakukan,” kata Matheus.
“Sebab mungkin, dari 10 orang yaang diajak dialog, ada satu orang yang dipercaya kelompok sipil bersenjata ini. Mereka ini yang nantinya akan memainkan peran negosiasi, dan memang butuh rasa saling percaya,” tambahnya.
Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan HAM, Matius Murib kepada VOA juga menggarisbawahi dialog sebagai satu-satunya jalan keluar.
“Bukan persoalan mau atau tidak. Tetapi mereka kita harapkan dan mereka harus bersedia, untuk berdialog, karena tidak ada pembenaran apapun yang bisa dipakai untuk kontak senjata dan kekerasan menjadi pilihan mereka, untuk mencapai tujuan apapun,” ujar Matius.
Untuk itu, dibutuhkan mediator. Bagi Matius, fungsi ini bisa dijalankan oleh seorang tokoh atau sebuah organisasi. Siapapun, yang penting dipercaya dan direkomendasikan sendiri oleh kedua belah pihak, yaitu kelompok sipil bersenjata dan aparat keamanan. Fungsi mediator tidak hanya mempertemukan, tetapi juga membantu proses dialog hingga menuai hasil.
Inisiatif ini terutama harus diambil pemerintah. Pemimpin sipil dari kampung, distrik, bupati, gubernur hingga Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab. Matius setuju dengan penilaian, bahwa pihak gereja paling mungkin mengambil peran di tengah konflik tersebut.
“Gereja paling mungkin, karena masyarakat Papua secara umum, yang pertama kali bertemu dan mengenal mereka dulu adalah gereja. Gereka Gereja harusnya bisa memainkan fungsi dan peran itu. Karena itu, sangat diharapkan gereja netral dan tidak terjebak dalam hal-hal politik,” tambah Matius.
Matius juga mengingatkan, bahwa polisi harus berperan dalam penanganan kasus kriminal ini. Menurutnya, konstitusi negara mengamanatkan polisi bertanggung jawab dalam urusan dalam negeri dan kriminal, bukan TNI. Karena itu, pengerahan aparat keamanan tidak boleh melanggar konstitusi.
Setiap terjadi insiden kekerasan, kata Matius, selalu muncul harapan bahwa kejadian itu menjadi yang terakhir. Namun, harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan, karena kekerasan terjadi berulang. Itu menjadi bukti bahwa pendekatan kekerasan tidak menuai hasil dan harus dievaluasi.
Aparat keamanan sendiri masih terus melakukan evakuasi korban serangan kelompok sipil bersenjata di Kali Yigi. Data dari Humas Polda Papua, total korban pekerja dari PT Istaka Karya sebanyak 28 orang. Dari jumlah itu, 17 orang meninggal dunia, 7 orang selamat dan 4 orang masih dalam pencarian.