Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD beberapa waktu lalu mengatakan salah satu non yudisial untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah dengan memperbaiki Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Irmawan atau yang akrab disapa Wawan, korban penembakan pada Tragedi Semanggi I 1998 dan Bejo Untung, korban kekerasan politik 1965 menolak jika pemerintah hanya mengupayakan jalur non yudisial dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
Selama 21 tahun, Sumarsih menunggu pelaku yang menembak anaknya di proses secara hukum. Penantian tersebut hingga saat ini tidak kunjung terjadi.
Sumarsih mempertanyakan mengapa harus menggunakan KKR. Karena untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, termasuk pelanggaran berat masa lalu, sudah ada Undang-undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM .
Mekanismenya jelas, kata Sumarsih. Komnas HAM melakukan penyelidikan kemudian Kejaksaan Agung menindaklanjuti berkas tersebut ke tingkat penyidikan. Jika terbukti terjadi pelanggaran HAM berat, DPR membuat surat rekomendasi kepada Presiden agar menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Namun, hal itu hingga kini juga tidak terlaksana.
Sumarsih pesimis pemerintah mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini secara tuntas. Padahal, Presiden Joko Widodo dalam nawacita dan juga visi dan misinya berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus tersebut dan menghapus impunitas tetapi kenyataannya berbeda.
“Saya pesimis ya. Sudah 21 tahun penembakan Wawan dan kawan-kawannya. Jadi sekarang ini jangan mengulur-ulur, hanya janji-janji di awal kekuasaan setelah itu tidak ada perkembangan apa-apa,” kata Sumarsih.
Bejo Untung, korban kasus 1965, mengatakan jika pemerintah serius ingin menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagai langkah awal segera dibentuk pengadilan HAM Ad hoc sesuai dengan undang-undang.
Terkait dengan KKR, kata Bejo Untung, jika Menkopolhukam Mahfud serius, segera saja membuat rancangan akademiknya agar publik dapat mengetahuinya.
Menurut Bejo Untung, penyelesaian melalui jalur non yudisial belum menyelesaikan persoalan. Kalau tidak ada yudisial, kata Bejo Untung, artinya tidak ada kepastian hukum. Jadi, dia tetap mendesak langkah hukum.
“Karena sampai sekarang juga ada satu klausul kalau belum ada kepastian hokum, maka para korban tidak akan mendapatkan kompensasi dan lainnya sebagainya. Jadi kalau hanya non judisial saya menolak harus ada judisial,” tutur Bejo Untung kepada VOA
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan tidak bisa disamaratakan bahwa semua kasus itu non yudisial, harus dilihat secara detail kasus per kasusnya seperti apa.
Sampai saat ini, kata Beka, lembaganya masih meyakini sebelas kasus hasil penyelidikan Komnas HAM bisa dibawa ke pengadilan.
“Artinya, setelah selesai penyelidikan oleh Komnas HAM, maka bisa dilanjutkan oleh Jaksa Agung untuk disidik atau dibawa ke pengadilan. Jadi kami masih berkeyakinan, kasus-kasus yang ada sekarang itu bisa di bawa ke pengadilan semua,” lanjut Beka.
Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan konsep perbaikan UU KKR sudah pernah dilakukan, namun tidak dilanjutkan. Pasalnya, sejumlah menteri belum memiliki pemahaman yang sama.Saat ini kata Mahfud pihaknya mulai mengkoordinasikan lagi.
“Kita koordinasikan lagi agar bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah masa lalu” ujar Mahfud.
Komnas HAM sejak 2000 telah menyerahkan berkas penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ke Kejaksaan Agung. Sejak itu pula berkas-berkas itu mengalami proses bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Alasannya diantaranya banyaknya saksi-saksi yang sudah meninggal dan kurangnya bukti.
Sejumlah berkas pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM itu adalah peristiwa 1965/1966, peristiwa Talangsari, Tragedi Trisakti I dan II, penghilangan paksa aktivis, kasus Wamena dan Wasior, kasus Jambo Gepok Aceh, Simpang KKA Aceh, kasus rumah gedung di Aceh. [fw/ft]