Sidang kedua terhadap lima anggota TNI pelaku mutilasi ini dilaksanakan pada Selasa (10/1) dengan agenda mendengar keterangan para saksi. Empat saksi datang ke ruang sidang, sedang dua saksi memberikan keterangan secara daring.
Keluarga korban datang mengikuti proses persidangan kali ini. Salah satunya adalah Pale Gwijangge, yang merupakan kakak sepupu salah satu korban yang bernama Arnold Lokbere.
Kepada VOA, Pale mengatakan keluarga korban meminta keadilan, dengan dijatuhkannya hukuman maksimal, yaitu vonis mati.
“Kami menuntut hukuman mati, bukan karena kejahatan-kejahatan biasa. Tapi ini kejahatan kemanusiaan yang menembak, membunuh menghilangkan jejak, terus barang buktinya dihilangkan,” kata Pale.
“Kepala manusianya dipotong, kepala tidak ada, kaki tidak ada, tangan tidak ada, dan kami kremasi itu cuma sebagian tubuh, sehingga keluarga menuntut hal yang sama dilakukan kepada para pelaku,” tambahnya.
Kasus pembunuhan disertai mutilasi ini dilakukan anggota TNI terhadap empat korban di Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Keempat orang ini diklaim keluarga, datang dari Nduga ke Mimika untuk berbelanja bahan bangunan.
Keempatnya adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniol Nirigi, dan Atis Tini. Setelah dibunuh, korban dimutilasi dan dibuang ke sungai. Hanya bagian tubuh utamanya yang ditemukan oleh tim pencari, sedangkan seluruh bagian kaki, tangan dan kepala masih hilang.
Enam anggota TNI dan empat warga sipil ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mestinya Diadili Secara Sipil
Keluarga korban sebenarnya berharap pelaku menjalani sidang etik terlebih dahulu dan diberhentikan sebagai anggota TNI. Jika sudah diberhentikan, para pelaku bisa dihadapkan di pengadilan umum. Dengan demikian, sidang dapat dilakukan di Mimika, dan keluarga korban dapat mengikuti secara langsung karena jarak lebih dekat. Namun, harapan itu kandas karena TNI memutuskan sidang dijalankan di Mahkamah Militer yang ada di Jayapura.
“Sekarang, harapan kami bergantung kepada hakim di Pengadilan Militer. Kami sangat berharap sekali, hakim mengambil keputusan yang seadil-adilnya buat keluarga, karena keluarga kami tidak akan dihidupkan lagi,” tambah Pale.
Meski begitu, Pale menyebut proses peradilan di Mahkamah Militer III Jayapura ini cukup terbuka. Keluarga korban mengikuti proses sejak persidangan pertama yang dilakukan pada 12 Desember 2022. Sayangnya, dalam sidang yang digelar pada Selasa (10/1), Pale menilai ada upaya menggiring opini untuk mengesankan bahwa para korban adalah anggota dari Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).
“Ya, keluarga tadi sudah dengan tegas menyatakan bahwa mereka, empat korban adalah benar-benar warga sipil, dan sudah menyampaikan secara terbuka dan seluruh aktivitas mereka,” kata Pale.
“Kami keluarga juga memberikan dokumen informasi akurat, tentang seluruh aktivitas para korban, identitas korban, aktivitas keseharian, pekerjaan, itu yang kami sudah sampaikan secara tertulis ke Pengadilan Militer tadi,” ujarnya lagi.
Pale juga mengatakan, jika digelar di pengadilan umum, keluarga yakin hakim akan menjatuhkan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati atau setidaknya hukuman seumur hidup. Sampai saat ini, keluarga belum sepenuhnya yakin bahwa Mahkamah Militer akan mampu memenuhi keinginan tersebut, meskipun harapan itu masih ada.
Berharap Vonis Maksimal
Gustaf Kawer, pengacara yang mendampingi keluarga korban juga menguraikan upaya mereka sebelum ini yang berharap pelaku tidak disidang di Mahkamah Militer. Namun upaya itu gagal karena pendekatan dari pihak manapun, termasuk Komnas HAM, tidak mampu mempengaruhi keputusan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan HAM.
“Memang kita sayangkan kalau Peradilan Militer, kan terkesan tertutup ya. Hakimnya kan mereka sendiri, jaksanya mereka sendiri, terus pembela hukumnya juga mereka sendiri. Tapi dalam proses ini, kita dari tim pembela hukum juga ada pantau,” kata Gustav yang juga Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua.
Seharusnya, pelaku disidangkan di pengadilan HAM atau pengadilan konektivitas. Pengacara korban, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan DPR Papua, bahkan pernah secara khusus datang ke Jakarta untuk berbicara mengenai pengadilan koneksitas ini. Meski proses pengadilan terbuka di Jayapura, tetapi tidak disiarkan secara daring sehingga keluarga korban tidak punya kesempatan untuk mengikutinya.
“Harapan khusus keluarga korban, selain proses yang transparan, juga persidangan itu dilakukan di Timika. Tapi di Jayapura ini, masyarakat bisa datang akses langsung, media juga bisa datang. Tetapi, bagaimana dekat dengan korban, itu belum,” tandasnya.
Namun, apresiasi diberikan karena oditur militer atau jaksa telah mengenakan pasal sesuai tuntutan masyarakat.
“Jadi yang utama itu pasal pembunuhan berencana. Kita harapkan, dalam proses nanti mereka dituntut dan divonis dengan pasal pembunuhan berencana. Pembunuhan berencana itu ancaman hukuman maksimalnya, hukuman mati, ada seumur hidup dan paling lama 20 tahun,” urai Gustav.
Satu pelaku, bahkan akan diadili di Makassar. Keputusan ini sangat disayangkan, karena menurut Gustav, semakin jauh dari jangkauan keluarga korban. Apalagi, yang akan disidangkan di Makassar ini justru anggota TNI dengan pangkat paling tinggi di antara pada pelaku.
Satu pelaku sendiri telah meninggal dunia di tengah proses persidangan.
“Kita analisa, bahwa kejadian ini akan berpengaruh ke keterangan terhadap pelaku berpangkat mayor itu, karena dia kan saksi nanti buat mayor itu,” tegasnya. [ns/ab]
Forum