Orang tua korban semanggi I Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), Sumarsih mengatakan putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta telah menutup peluang penuntasan kasus pelanggaran HAM pada 1998. Ini disampaikan Sumarsih terkait putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta yang membatalkan putusan PTUN Jakarta yang menyebut Jaksa Agung melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam putusan sebelumnya, pernyataan Jaksa Agung dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020 sebagai perbuatan melawan hukum. Jaksa Agung saat itu menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Keputusan majelis hakim PTTUN Jakarta menyebut demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi mengapa tidak menolak kebohongan Jaksa Agung. Pertanyaannya adalah keadilan seperti apa yang dimaksud," jelas Sumarsih dalam konferensi pers daring, Rabu (10/3/2020).
Sumarsih menilai majelis hakim PTTUN tersebut tidak memahami semangat gugatan orang tua korban yang ingin memastikan Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Salah satunya mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM pada 1998.
Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Isnur menyesalkan tindakan Jaksa Agung yang mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta. Menurutnya, tindakan tersebut menunjukkan Jaksa Agung tidak fokus dalam penyelesaian persoalan yaitu pelanggaran HAM 1998.
Sebaliknya, kata Isnur, Jaksa Agung menghabiskan energi karena melawan warga negara yang sedang mencari keadilan dengan mempersoalkan prosedur hukum.
"Sebenarnya kami mendesak supaya Jaksa Agung mencabut banding kemarin. Tapi kalau mereka masih bermain-main di ranah formil seperti ini ya akan kita hadapi terus," jelas Isnur.
Isnur menambahkan putusan PTTUN tidak menyentuh pokok persoalan yang menyatakan tindakan Jaksa Agung sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu, ia akan mempertimbangkan untuk mengajukan kasasi dan berharap Mahkamah Agung dapat mengoreksi putusan dari PTTUN Jakarta.
PTUN Jakarta Kabulkan Gugatan November Lalu
November tahun lalu, Majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan yang diajukan orang tua korban peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yakni Sumarsih dan Ho Kim Ngo terhadap Jaksa Agung.
Adapun yang digugat adalah pernyataan Jaksa Agung pada rapat dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020 yang menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Karena itu, menurut Jaksa Agung saat itu, Komnas HAM seharusnya tidak menindaklanjuti dan tidak ada alasan untuk membentuk Pengadilan ad hoc.
Atas pernyataan tersebut, majelis hakim yang diketuai Andi Muh Ali Rahman memutuskan Jaksa Agung telah melakukan perbuatan melawan hukum. Selain itu, hakim juga menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp285.000.
Salah satu alasan keluarga korban menggugat yaitu mereka menilai pernyataan Jaksa Agung telah menghambat menghambat proses hukum penyelesaian dugaan pelanggaran HAM Berat Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II. Akibatnya kepentingan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya para korban menjadi terhalangi.
Mereka juga menilai pernyataan Jaksa Agung mengaburkan fakta bahwa Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II adalah Pelanggaran HAM Berat. Menurut mereka, hal ini mencederai perjuangan keluarga korban dan masyarakat, salah satunya melalui Aksi Kamisan di depan Istana Negara yang telah berlangsung 13 tahun.
Namun, 2 Maret lalu, Majelis Hakim PTTUN Jakarta membatalkan putusan PTUN Jakarta soal pernyataan Jaksa Agung soal peristiwa Semanggi yang diputus sebagai perbuatan melawan hukum. Salah satu pertimbangan hakim yaitu PTUN Jakarta dinilai belum berwenang memutus perkara gugatan yang diajukan keluarga korban Semanggi. Belum ada tanggapan dari Kejaksaan Agung atas putusan PTTUN Jakarta terkait putusan banding ini. [sm/em]