Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari Realino Norman Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas ketika Tragedi Semanggi I, dan Ho Kim Nyo, ibunda Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas ketika Tragedi Semanggi II; bersama sejumlah organisasi yang tergabung dalam “Koalisi untuk keadilan Semanggi II dan II” menggugat Jaksa Agung ST Burhanuddin ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gugatan terhadap jaksa agung tersebut terkait pernyataannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Ibunda Realino Norman Irawan, Maria Catarina Sumarsih kepada VOA menjelaskan sebelum melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihaknya telah mengajukan surat keberatan ke Kejaksaan Agung, namun jawaban dari lembaga itu tidak sesuai dengan yang dipermasalahkan.
Menurut Sumarsih, langkah ini merupakan pembelajaran atau koreksi bagi para pemegang kekuasaan yang berkaitan penyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Dia mengatakan akan terus berjuang dan mencari keadilan bagi anaknya.
“Ini alasan yang mengada-ngada. Ada belasan alasan kejaksaan agung untuk tidak mau menindaklanjuti berkas Komnas HAM untuk Semanggi I, II dan Trisakti. Pernah dinyatakan hilang, pernah dinyatakan terkena asas nebis in idem sementara di dalam Undang-undang Pengadilan HAM tidak ada ketentuan tidak kadarluasa.Jadi untuk kasus pelanggaran HAM berat itu tidak ada batasan untuk penyelesaiannya, kapanpun kita bisa menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus itu,” ungkap Sumarsih.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Jaksa Agung ST. Burhanuddin selain menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran berat. Jaksa Agung juga menyatakan seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan adhoc berdasar hasil rekomendasi DPR tersebut.
YLBHI: Keluarga Minta Pengadilan Nyatakan Tindakan Jagung Melawan Hukum
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan gugatan terhadap jaksa agung ini dilakukan dengan mekanisme perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Keluarga korban dalam gugatan tersebut meminta agar pengadilan menyatakan tindakan jaksa agung ini adalah tindakan melawan hukum dan memerintahkan jaksa agung untuk meminta maaf.
Gugatan ini dilayangkan ke PTUN karena pernyataan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 silam merupakan bagian dari tindakan pemerintahan.
Perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.
“Itu hak korban saja jadi hak korban yang dipakai sebagai warga negara yang baik menggunakan langkah-langkah hukum. Tidak mengurangi kewajiban Komnas HAM dan jaksa agung untuk melakukan penyidikan. Efeknya setiap pejabat harus berhati-hati kalau bicara dan membuat kebijakan karena semua tindakan dapat digugat,” kata Isnur.
Kepala Pusat Penerangan Jaksa Agung Hari Setiyono mengatakan pernyataan Jaksa Agung yang menyebut kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat, mengacu pada rekomendasi DPR yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran berat.
Rekomendasi tersebut berdasarkan laporan Panitia Khusus (Pansus) Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) pada 9 Juli 2001 silam.
Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 2000 pernah membentuk panitia khusus (pansus) untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II atas desakan mahasiswa dan keluarga korban. Hasilnya dinyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam ketiga kasus tersebut. Pansus merekomendasikan agar penyelesaian kasus-kasus tersebut melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer.
Sementara penyelidikan Komnas HAM menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Sedikitnya 50 orang perwira TNI dan Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan terhadap mahasiswa tersebut. [fw/em]