Vonis hukuman penjara seumur hidup bagi Rurik Jutting yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Hong Kong kemarin, memang tidak bisa mengembalikan hidup Sumarti Ningsih. Namun bagi Suyitno, kakak Ningsih, putusan pengadilan itu memberikan kelegaan batin.
Keluarga Ningsih yang hidup di desa terpencil di Cilacap, Jawa Tengah, sudah diberi tahu bahwa hukuman penjara seumur hidup adalah vonis maksimal yang bisa dijatuhkan pengadilan. Suyitno dan kedua orang tua Ningsih menggelar pertemuan bersama sejumlah wartawan di rumah mereka hari Rabu Siang sebagai respons atas keputusan itu.
Sumarti Ningsih adalah buruh migran yang tubuhnya ditemukan membusuk di koper milik bankir Rurik Jutting. Koper itu diletakkan di balkon apartemen mewah milik Rurik. Ningsih diduga dibunuh beberapa hari sebelum polisi menggeledah apartemen itu dan menemukan tubuh perempuan buruh migran yang lain, Seneng Mujiasih yang bersimbah darah pada 1 November 2014.
Pria warga negara Inggris karyawan Bank of America Merrill Lynch itu diduga membunuh keduanya di bawah pengaruh obat terlarang. Tetapi pengadilan mengesampingkan kondisi itu dan meletakkan tanggung jawab sepenuhnya kepada Rurik.
Kepada VOA, Suyitno mewakili keluarga juga mengatakan, permintaan maaf yang disampaikan Rurik melalui pengacaranya, tidak bisa mereka terima begitu saja. Ningsih sudah pergi selamanya dan permintaan maaf tidak akan mengembalikan perempuan penopang ekonomi keluarga itu.
“Kita mengucapkan terimakasih kepada Pengadilan Tinggi Hong Kong, yang sudah memberikan keputusan vonis kepada pelaku pembunuhan adik saya. Pelaku sudah divonis hukuman penjara seumur hidup, jadi mendengar itu keluarga ya merasa cukup senang dan puas dengan keputusan pengadilan itu, karena itu merupakan hukuman tertinggi yang bisa diberikan di Hong Kong,” kata Suyitno.
Bagi Suyitno, vonis kepada Rurik juga menyudahi penantian keluarga korban selama dua tahun. Tugas mereka kini adalah membesarkan anak Ningsih yang sejak berumur 40 hari diasuh oleh kakek nekeknya. Bahkan, kata Suyitno, anak Ningsih sampai saat ini tidak tahu, bahwa perempuan yang dua tahun lalu dikuburkan di desa mereka itu adalah ibunya.
Dari Hong Kong, Sringatin selaku juru bicara Badan Koordinasi Migran Asia menyambut baik keputusan juri dan hakim di Pengadilan Tinggi Hong Kong. Keputusan tersebut bermakna penting bagi komunitas buruh migran di Hong Kong yang mayoritasnya perempuan dan rentan menjadi korban kekerasan.
“Keputusan ini juga memberikan pesan kepada siapapun, bahwa setiap manusia, seperti juga kami, berhak memperoleh penghargaan dan penghormatan yang sama, tanpa memandang status ekonomi, status imigrasi, jenis kelamin, pekerjaan dan ras,” ujar Sringatin.
Sringatin juga meminta pemerintah Indonesia untuk memberikan dukungan kepada keluarga korban. Terutama karena mereka sebelumnya sangat tergantung kepada kiriman uang Ningsih maupun Seneng Mujiasih dari Hong Kong Keluarga Ningsih dengan bantuan Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), berencana mengajukan tuntutan perdata kepada pelaku pembunuhan. Gugatan ganti rugi materil ini juga dilayangkan untuk menjamin anak semata wayang Ningsih memperoleh pendidikan yang cukup kelak.
Iweng Karsiwen, aktivis JBMI yang turut mendampingi keluarga Ningsih di Cilacap mengatakan, gugatan keluarga Ningsih ini penting karena menjadi jawaban keadilan bagi mereka. Orang tua Ningsih harus dibantu untuk membesarkan anak Ningsih, atau cucu mereka, di tengah belitan kemiskinan. JBMI dan keluarga Ningsih telah mempersiapkan gugatan ini sejak satu tahun yang lalu. Kini, gugatan dari keluarga Seneng Mujiasih di Sulawesi juga tengah dipersiapkan, untuk didaftarkan ke pengadilan Hong Kong.
Pendampingan ini penting, karena dalam banyak kasus di mana buruh migran menjadi korban tindakan kriminalitas, mereka cenderung menerima apa yang terjadi. Padahal sebenarnya ada hak mengajukan gugatan ganti rugi. Jika berhasil, gugatan semacam ini akan sangat membantu untuk meringankan beban, misalnya bagi jaminan biaya pendidikan anak buruh migran yang orang tuanya meninggal.
“Kan tidak semua keluarga buruh migran mengetahui adanya hak gugatan perdata itu, juga bagaimana cara menggunakan hak tersebut. Kita hanya memfasilitasi dan mendampingi, tetapi seluruh gugatan itu atas nama ahli waris, kalau tidak dilakukan oleh ahli waris tidak bisa. Pengalaman kita selama ini, banyak sekali keluarga buruh migran yang tidak mengerti hak menggugat ganti rugi perdata ini. Atau kalaupun mereka mengerti, mereka tidak tahu atau sudah menyerah dulu sebab urusannya ribet, dan harus dilakukan jauh di luar negeri. Mereka sudah bingung bagaimana mengurusnya,” kata Iweng Karsiwen.
Menurut data, ada sekitar 150 ribu buruh migran Indonesia di Hong Kong, jumlah itu adalah yang ke-dua terbesar setelah buruh asal Filipina. Mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Tahun lalu, uang yang dikirimkan ke Indonesia total mencapai lebih dari Rp 7 triliun. [ns/uh]