Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen minyak goreng yang cukup tinggi. Sebagai konsekuensinya, Indonesia juga memiliki masalah dengan tingginya volume minyak goreng bekas. Namun, tidak lama lagi, minyak bekas yang biasanya dibuang itu akan memiliki nilai ekonomis tinggi.
Setiap tahun, konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai lebih dari tiga juta ton. Data Asosiasi Pedagang Kreatif Lapangan Indonesia (APKLI), yang antara lain membawahi ribuan pedagang “gorengan” atau camilan goreng di tanah air menyebutkan, setiap pedagang dalam seharinya menggunakan antara 3-5 liter minyak goreng. Setelah digunakan, biasanya minyak goreng bekas atau yang biasa disebut jelantah, akan dibuang. Sebagian masyarakat mengolahnya kembali menjadi biodiesel untuk keperluan bahan bakar hingga sabun cuci.
Tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada melangkah lebih maju lagi, dengan mengolah minyak jelantah menjadi biogasolin atau bensin. Mereka adalah Abdul Afif Almuflih dan Khoir Eko Pambudi, mahasiswa Kimia, dan Endri Geofani dan Fakultas Pertanian. Di laboratorium kampus setempat, ketiganya mendemonstrasikan bagaimana cara memproduksi bensin dari minyak jelantah.
Menurut Khoir Eko Pambudi, minyak jelantah dipilih untuk mendorong masyarakat tidak memakai minyak goreng berulangkali yang berdampak buruk pada kesehatan. Di samping itu, minyak jelantah juga tersedia melimpah, terutama di kalangan pedagang gorengan, camilan yang sangat populer di Indonesia.
Eko Pambudi menambahkan, kunci proses perubahan ini adalah katalisnya, yang mereka buat dari tanah liat, yang diaktifkan dengan logam kadium. Tanah liat dipilih karena merupakan material yang bisa ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia dan murah.
“Kita memakai katalis yang berasal dari alam, dan itu tinggal menggali tanah saja sudah bisa mendapatkannya. Kita menggunakan limbah juga, dan tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu minyak jelantah. Dan katalisnya juga kita desain untuk bisa digunakan berulangkali, karena dalam prakteknya saat ini di kebanyakan industri, katalis hanya bisa dipakai sekali,” kata Khoir Eko Pambudi.
Anggota tim peneliti yang lain, Abdul Afif Almuflih mengatakan, proses produksi bensin dimulai dengan memanaskan minyak jelantah. Uap hasil pemanasan akan mengalir melalui pipa yang sudah diisi katalis tadi, dan menetes di bak penampung sebagai bahan bakar baru. Dalam penelitian yang sudah dilakukan sejak tahun lalu itu, dari satu liter minyak jelantah, akan dihasilkan 420 ml bensin dan 290 ml diesel atau solar.
Karena penelitian ini telah mampu memproduksi bensin berbahan dasar minyak jelantah, Afif meyakini penggunaan minyak goreng baru akan lebih efisien dalam proses produksi biogasolin ini. Karena itu, Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia, berkesempatan untuk memproduksi bensin berbahan baku minyak sawit dalam skala industri. Meskipun mengaku belum menghitung biaya produksi secara rinci, harga bensin berbahan minyak goreng bekas ini diyakini tidak lebih mahal dari bensin yang sudah ada.
“Penelitian ini kami harapkan menjadi langkah awal, yang nantinya minyak kelapa sawit murni itu dapat dijadikan bahan baku dan diproduksi secara massal untuk bahan bakar minyak (BBM). Apalagi Indonesia memiliki potensi kelapa sawit yang sangat berlimpah khususnya di wilayah barat,” jelas Abdul Afif Almuflih.
Penelitian ini setidaknya telah memenangkan empat penghargaan dunia. Keempatnya adalah medali emas dari World Invention Intellectual Property Association (WIIPA) , medali emas dari Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA), perunggu dari Malaysian Technology Expo (MTE) 2016, dan penghargaan khusus dari Toronto International Society of Innovation & Advanced Skills (TISIAS) Kanada. [ns/lt]