“Gerakan Masyarakat Peduli Gambut” yang terdiri para akademisi sejumlah perguruan tinggi, budayawan, wakil pemerintah, LSM dan mahasiswa yakin bahwa lahan gambut yang luasnya mencapai 10% dari seluruh wilayah darat Indonesia adalah aset bangsa. Ironisnya tidak adanya aturan pengelolaan menurunkan kualitas lahan gambut. Dalam Deklarasi Jogja yang dibacakan Rektor UGM Prof. Dwikorita Karnawati, “Gerakan Masyarakat Peduli Gambut” bertekad menggalang dukungan untuk mengembalikan pengelolaan lahan gambut secara bijaksana.
“Kami tertekad untuk mengembalikan pengelolaan lahan gambut secara lebih berbudaya dan bijaksana demi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya agar gambut tidak menjadi sumber bencana yang tidak terkendali,” katanya.
Dalam kesempatan itu Prof. Herry Purnomo, guru besar Institut Pertanian Bogor yang juga ilmuwan CIFOR (Center for International Forestry Research) mengatakan, musim hujan dan selesainya pelaksanaan pilkada serentak sekarang merupakan saat yang tepat untuk mulai membenahi lahan gambut.
“Hubungan antara hot spot dengan pilkada itu sangat significant di samping berulang. Api 2 tahun sebelumnya dan pilkada di tahun sesudahnya menjelang pilkada. Itu sampai 75 persen terkait antara pilkada dan kebakaran lahan gambut. Kalau kandidat (kepala daerah) tidak bagus itu suka menyediakan lahan ilegal, diberikan kepada mereka (orang yang membutuhkan lahan) dengan syarat harus memilih dia; seperti politik uang tapi pake lahan. Tidak ada pengelolaan lahan ilegal secara sustainable,” kata Prof. Herry.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM DR Setyawan Pudyatmoko mengatakan restorasi gambut harus dimulai dengan penguatan ekonomi masyarakat lokal, kemudian baru dilanjutkan dengan penerapan hal-hal yang lebih bersifat teknis.
“Untuk restorasi gambut itu memang butuh dukungan aspek legal terkait peraturan-peraturan pemerintah yang ada. Apakah perlu revisi, penguatan, tentu ada aspek penegakan hukum. Lalu ada aspek-aspek teknis penataan air dan teknik re-vegetasi di gambut. Itu semua sudah kita buat dalam satu konsep yang pernah dipresentasikan oleh bu Rektor di depan presiden. Nanti akan dilanjutkan oleh tim kecil yang akan membahas lebih dalam lagi,” kata Setyawan.
Menurut Herry Santoso, Board Director Java Learning Center, untuk jangka panjang perlu penataan ulang pengelolaan lahan yang lebih tegas.
“Jangka panjang yang jauh lebih penting adalah investasi etika pembangunan lingkungan, itu yang saya kira memerlukan waktu yang sangat panjang. Secara keseluruhan kami memandang persoalannya bukan hanya masalah perijinan tapi persoalan tata kelola lahan itu perlu ditata ulang. Akar persoalannya kan ada 2 hal; meletakkan sumber daya alam sebagai komoditas dan yang kedua adalah terjadi ketimpangan sosial antara penguasaan lahan antara private sector sehingga disitu ada ketegangan dan pada saat yang sama ada eksplotasi,” ujarnya.
Budayawan Radar Panca Dahana menyayangkan kebakaran lahan gambut yang luasnya mencapai 4 kali pulau Bali selama bulan Juli hingga Oktober lalu, yang telah memusnahkan khasanah budaya masyarakat setempat.
“Lahan yang 2-juta lebih hektar itu adalah lahan di mana hidup sekian juta masyarakat yang membina dirinya berhubungan dengan lingkungannya menciptakan kebudayaan. Itu tidak puluhan, ratusan mungkin ribuan tahun. Karena lahannya hancur semuanya hancur. Semua bisa renewable; pepohonan bisa renewable, kalau kebudayaan tidak ada kebudayaan renewable,” tambahnya.
Gerakan ini juga bertekad melakukan langkah nyata mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan kembali pada musim kemarau antara bulan April hingga Juni 2016 mendatang. [ms/em]