Dalam siaran pers yang dikeluarkan Senin (13/8), Kementerian Perdagangan menyatakan akan menerbitkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/2008 tentang bisnis waralaba dalam waktu dekat.
Revisi Undang-undang tersebut diantaranya berisi kewajiban menjual 80 persen produk dalam negeri dan 20 persen sisanya boleh produk impor. Pemerintah juga akan mengatur jumlah peritel di suatu daerah agar tidak menganggu pedagang tradisional.
Hingga saat ini ada sekitar 1.500 waralaba di Indonesia yang dimiliki sekitar 2 juta orang. Meski demikian, untuk beberapa waralaba besar masih dimonopoli pengusaha tertentu.
Menurut Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba Indonesia, Amir Karamoy, sudah saatnya monopoli waralaba di Indonesia dilarang agar masyarakat mendapat kesempatan untuk berbisnis waralaba.
Amir khawatir perkembangan waralaba yang semakin pesat di Indonesia justru akan membiarkan terjadi praktik monopoli. Menurutnya seharusnya pemerintah Indonesia mengikuti sistem perizinan waralaba di negara-negara lain terutama di Amerika Serikat yang berpegang pada prinsip setiap orang memiliki kesempatan berbisnis sehingga tercipta iklim usaha yang sehat.
“Sekarang [bisnis waralaba] dikuasai konglomerat lokal. Kemudian perusahaan besar lokal itu memonopoli dengan membangun gerai yang semuanya milik dia sendiri. Misalnya, jangan dong kalau ketika saya mau masuk Bandung misalnya mau buka McDonalds jangan itu juga milik saya lagi, itu musti pengusaha di Bandung. Kemudian saya masuk Surabaya, yang punya milik Surabaya bukan saya lagi walaupun mereka tetap menyandang nama McDonalds, tetap mengikuti aturan McDonalds,” ujar Amir.
Ia menambahkan, penerbitan revisi undang-undang tentang waralaba diharapkan membuat para pedagang tradisional dan pasar tradisional mampu bertahan dengan beberapa poin aturan yang berpihak pada pedagang dan pasar tradisional.
“Saya pikir pasar tradisional harus dibuat menjadi pasar modern dalam pengertian kualitas produknya baik, bersih, bikin suasana yang nyaman, orang berbelanja di sana juga akan senang,” kata Amir.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, rencana pemerintah membenahi pasar-pasar tradisional sampai ini belum maksimal. Pemerintah, tambahnya, lebih mendahulukan mengembangkan pasar-pasar modern dan waralaba.
“Pasar-pasar ada dalam kondisi yang sudah sangat memprihatinkan. Pemerintah sudah terlalu lambat melakukan antisipasi dengan merebaknya toko atau ritel-ritel modern. Pasar yang menjadi skala prioritas harus dibetulkan adalah pasar-pasar yang berkaitan dengan penduduk yang padat, juga berkaitan dengan tempat penjualan hasil-hasil pertanian, nelayan yang memang itu menjadi sasaran penjualan,” ujarnya.
Revisi Undang-undang tersebut diantaranya berisi kewajiban menjual 80 persen produk dalam negeri dan 20 persen sisanya boleh produk impor. Pemerintah juga akan mengatur jumlah peritel di suatu daerah agar tidak menganggu pedagang tradisional.
Hingga saat ini ada sekitar 1.500 waralaba di Indonesia yang dimiliki sekitar 2 juta orang. Meski demikian, untuk beberapa waralaba besar masih dimonopoli pengusaha tertentu.
Menurut Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba Indonesia, Amir Karamoy, sudah saatnya monopoli waralaba di Indonesia dilarang agar masyarakat mendapat kesempatan untuk berbisnis waralaba.
Amir khawatir perkembangan waralaba yang semakin pesat di Indonesia justru akan membiarkan terjadi praktik monopoli. Menurutnya seharusnya pemerintah Indonesia mengikuti sistem perizinan waralaba di negara-negara lain terutama di Amerika Serikat yang berpegang pada prinsip setiap orang memiliki kesempatan berbisnis sehingga tercipta iklim usaha yang sehat.
“Sekarang [bisnis waralaba] dikuasai konglomerat lokal. Kemudian perusahaan besar lokal itu memonopoli dengan membangun gerai yang semuanya milik dia sendiri. Misalnya, jangan dong kalau ketika saya mau masuk Bandung misalnya mau buka McDonalds jangan itu juga milik saya lagi, itu musti pengusaha di Bandung. Kemudian saya masuk Surabaya, yang punya milik Surabaya bukan saya lagi walaupun mereka tetap menyandang nama McDonalds, tetap mengikuti aturan McDonalds,” ujar Amir.
Ia menambahkan, penerbitan revisi undang-undang tentang waralaba diharapkan membuat para pedagang tradisional dan pasar tradisional mampu bertahan dengan beberapa poin aturan yang berpihak pada pedagang dan pasar tradisional.
“Saya pikir pasar tradisional harus dibuat menjadi pasar modern dalam pengertian kualitas produknya baik, bersih, bikin suasana yang nyaman, orang berbelanja di sana juga akan senang,” kata Amir.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, rencana pemerintah membenahi pasar-pasar tradisional sampai ini belum maksimal. Pemerintah, tambahnya, lebih mendahulukan mengembangkan pasar-pasar modern dan waralaba.
“Pasar-pasar ada dalam kondisi yang sudah sangat memprihatinkan. Pemerintah sudah terlalu lambat melakukan antisipasi dengan merebaknya toko atau ritel-ritel modern. Pasar yang menjadi skala prioritas harus dibetulkan adalah pasar-pasar yang berkaitan dengan penduduk yang padat, juga berkaitan dengan tempat penjualan hasil-hasil pertanian, nelayan yang memang itu menjadi sasaran penjualan,” ujarnya.